Kemungkinan terjadi perundungan
Selain itu, kondisi demikian juga diprediksi akan membuat rentan terjadinya perundungan di sekolah. “Sebagai contoh, siswa yang pilihan politiknya berbeda dari pilihan mayoritas murid lain rentan akan dirundung oleh teman-temannya, apalagi jika materi kampanye kandidat atau parpol sudah mengarah pada isu politik identitas,” kata Iman.
Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Pendidikan P2G, Feriyansyah menyebut di lingkungan pendidikan yang dibutuhkan adalah edukasi politik, bukan malah menggunakan fasilitas pendidikan hanya pada saat pemilu. Apalagi yang perlu ditekankan dalam edukasi politik adalah netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam pemilu dan kampanye.
“Potensi pejabat atau atasan memobilisasi ASN pada kandidat atau partai tertentu, dan kalau memang terpaksa menggunakan sarana prasarana sekolah dan lembaga pendidikan, harus diperhatikan transparansi dan akuntabilitasnya,” kata Feriyansyah.
Pendidikan politik, bukan politik praktis
Penggunaan fasilitas pendidikan untuk pemilu juga dinilai akan memberi persepsi bagi guru, tenaga pendidik dan peserta didik bahwa politik hanya menjadi beban dan mengajarkan bahwa kegiatan politik hanya datang setiap pemilu atau jika berkepentingan saja. “Memori bahwa politik hanya praktik kepentingan setiap pemilu saja adalah memori yang tidak mendidik. Ini yang tidak kita harapkan,” kata Feriansyah.
P2G pun berkiblat pada negara-negara maju dengan sistem pendidikan dan demokrasi seperti Eropa Utara dan Amerika Utara yang tidak mempraktikkan kampanye politik elektoral di sekolah. “Pendidikan politik jangan diartikan dengan sekolah dan madrasah menjadi ajang kampanye politik praktis. Pendidikan politik di sekolah itu harus, tapi kampanye kandidat dan partai jangan di sekolah,” ujar Feriyansyah.
TIKA AYU | NINIS CHAIRUNNISA
Pilihan Editor: