MELIHAT prakteknya di masyarakat, ada kecenderungan kucuran triliunan rupiah dana hibah dan bansos ini dipolitisasi guna meraup suara dalam pileg. Namun, para caleg incumbent menolak tuduhan ini.
Wayan Koster, misalnya. Dia menegaskan kalau pun ada peningkatan dana bansos, maka itu hanyalah konsekuensi dari peningkatan volume APBN. “Tidak ada yang dirancang khusus karena tahun depan akan ada pemilu,” katanya ketika diwawancarai Tempo, Desember 2013 lalu.
Dalam penyaluran pun tidak ada ikatan perjanjian untuk memberikan suara. “Kalau anggota Dewan bekerja dengan betul dan masyarakat bisa merasakan apa yang telah dilakukan, tentu masyarakat akan mengerti. Masak caleg yang tidak berjuang akan diberi suara?” ujarnya.
Dalam penyaluran dana-dana seperti itu, dia mengaku tak memiliki tim khusus. Namun, setiap dia harus menjalani masa reses atau saat ada di Bali, dia selalu berusaha menyerap aspirasi masyarakat, terutama tentang kebutuhan bantuan dan menginformasikan program-program pemerintah. “Saluran komunikasinya bisa bermacam-tak macam,” katanya
Made Urip menjelaskan hal senada. Namun dia menegaskan, pembagian dana hibah dan dana bansos bukan satu-satunya cara agar seorang calon bisa terpilih. “Kuncinya harus menjalin hubungan baik dengan komunikasi yang intens dan terus-menerus,” ujarnya.
Secara jujur Urip mengakui ketika memberikan dana bansos itu dia mengharapkan warga penerimanya akan mendukungnya. Namun dari pengalaman, kata dia, banyak juga yang merasa tak punya ikatan dan pihaknya tidak bisa melakukan apa-apa. “Kita biarkan masyarakat yang menilai apakah kita bekerja atau tidak,” ujarnya.
Urip memastikan bahwa ketika memilih desa penerima bantuan, afiliasi atau pilihan partai warga tak menjadi pertimbangan. Dia menjamin bantuan akan diberikan kepada kelompok mana yang memang lebih siap. Sebab, bagaimana pun juga dana itu akan dikontrol oleh pihak kementerian melalui dinas-dinas di provinsi dan kabupaten. "Saya juga tidak mau ada kasus gara-gara penyaluran dana hibah yang bermasalah," katanya.