TEMPO.CO, Jakarta-Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsuddin Haris menilai Mahkamah Agung (MA) mengabaikan rasa keadilan masyarakat dengan mengabulkan gugatan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang melarang eks napi korupsi mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif (caleg).
"Bagaimana pun, publik berhak mendapatkan caleg yang baik, bersih, berintegritas," kata Syamsuddin di Gado-Gado Boplo, Jakarta, Sabtu, 15 September 2018.
Meski putusan MA telah keluar, kata Syamsuddin, KPU masih bisa mengimbau partai politik untuk tidak mengajuk caleg bermasalah. Selain itu, kata Syamsuddin, dipilih tidaknya caleg bermasalah berpulang kepada masyarakat. "Yang bisa dilakukan oleh civil society supaya tidak memilih caleg bermasalah. Itu saja. Saya kira tidak ada jalan lain, kembali ke masyarakat," katanya.
Baca: Kata KPK Soal Putusan MA Bolehkan Eks Napi Korupsi Jadi Caleg
MA mengabulkan permohonan gugatan terhadap PKPU Nomor 20 Tahun 2018. Juru bicara MA Suhadi mengatakan MA sudah memutuskan bahwa PKPU Nomor 20 Tahun 2018 yang melarang mantan narapidana narkoba, pelaku kejahatan seksual terhadap anak, dan mantan koruptor menjadi calon legislator, bertentangan dengan undang-undang.
"Sudah diputuskan kemarin, 13 September 2018. Dikabulkan permohonannya dan dikembalikan kepada undang-undang. Jadi napi itu boleh mendaftar sebagai caleg asal sesuai ketentuan undang-undang dan putusan Mahkamah Konstitusi," ujarnya kepada wartawan, Jumat, 14 September 2018.
Larangan eks napi korupsi menjadi caleg menuai polemik saat KPU menerbitkan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 yang melarang mantan narapidana narkoba, pelaku kejahatan seksual terhadap anak, dan mantan koruptor menjadi calon legislator. KPU mencoret bakal calon legislator yang diajukan partai politik jika terbukti pernah terlibat kasus-kasus tersebut.
Simak: PSI Geram MA Cabut Larangan Bekas Koruptor Boleh Jadi Caleg
Peraturan tersebut kemudian digugat ke MA. Suhadi menuturkan pertimbangan MA mengabulkan gugatan para termohon tersebut karena bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi.
Adapun Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan, “Bakal calon DPR dan DPRD harus memenuhi persyaratan: tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.”