TEMPO.CO, Jakarta - Sidang putusan Mahkamah Konstitusi atau MK mengenai Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) atau Sengketa Pilpres 2024 diwarnai dissenting opinion atau perbedaan pendapat. Hal itu dinyatakan oleh tiga hakim MK, yakni Wakil Ketua MK Saldi Isra, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Lantas, apa itu dissenting opinion?
Dissenting opinion bukan lagi menjadi istilah asing dalam dunia hukum. Dikutip dari jurnal Kedudukan Dissenting Opinion Sebagai Ekspresi Kebebasan Tertinggi Hakim, dissenting opinion terjadi karena perbedaan atau pemahaman pendapat antara hakim yang ada mengenai perkara yang sedang ditanganinya. Tepatnya, ini adalah perbedaan pendapat antara hakim (minoritas) dengan hakim lain saat mengambil keputusan dalam persidangan.
Pada dasarnya dissenting opinion merupakan wujud dari kemandirian seorang hakim dalam memutus suatu perkara. Dissenting opinion dilandasi dari keyakinan-keyakinan hakim baik dari norma dan aturan hukum. Dissenting opinion juga diartikan sebagai salah satu mekanisme yang memberikan kesempatan kepada hakim untuk mempertahankan kebenaran yang diyakininya.
Dilansir dari publikasi Dissenting Opinion Dalam Putusan Perkara Perdata, dissenting opinion berasal dan kerap digunakan di negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon seperti Amerika Serikat dan Inggris. Pada sistem tersebut, dissenting opinion digunakan jika terjadi perbedaan pendapat antara seorang hakim dengan hakim lain yang putusannya bersifat mayoritas.
Sebelumnya, Dissenting Opinion memang tidak diterapkan dalam sistem hukum Indonesia. Ini karena hukum Indonesia lebih condong menganut sistem Eropa Kontinental atau Civil Law System yang tidak mengenal Dissenting Opinion. Dikutip dari jurnal Dissenting Opinion Hakim Pada Putusan Mahkamah Agung dalam Perkara Merek Terkenal Yumi Katsura dan Prada, dissenting opinion pertama kali di Indonesia muncul dalam kasus perdata di bidang kepailitan.
Kala itu, Hakim Ad Hoc Eliyana menyatakan dissenting opinionnya dalam putusan nomor 71/Pailit/2000/PN.Niaga.Jkt.Pst, meski belum ada peraturan yang mengatur dissenting opinion saat itu. Oleh karena itu, Mahkamah Agung (MA) membentuk Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2000 Tentang Hakim Ad Hoc sebagai dasar hukum berlakunya dissenting opinion.
Sejak 2004, Indonesia mulai mengadopsi dissenting opinion dari sistem hukum common law ke dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 19 ayat (4) dan ayat (5) menyatakan setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Meskipun terdapat dissenting opinion dari beberapa hakim, pendapat itu tetap dicantumkan dalam putusan.
Lebih lanjut, dissenting opinion lebih banyak digunakan MK dari pada Mahkamah Agung. Ini disebabkan jumlah hakim yang memutus perkara di MK lebih banyak yaitu 9 orang hakim. Lahirnya dissenting opinion dari seorang hakim tidak terlepas dari unsur pertimbangan hukum (legal reasoning) yang merupakan unsur subjektif hakim dalam memaknai atau menafsirkan berbagai peraturan untuk menjatuhkan putusan.
Pencantuman dissenting opinion dalam putusan bersifat imperative atau mandatory, karena wajib dimuat dalam putusan. Dari dissenting opinion tersebut, dapat diketahui dan tergambar dasar-dasar pertimbangan dan pendapat individu anggota majelis yang menangani perkara.
Meskipun dissenting opinion diperlukan, namun perbedaan pendapat yang disatukan dalam naskah putusan tidak banyak bermanfaat bagi para pihak, khususnya bagi pihak yang dikalahkan dalam peradilan model civil law system seperti Indonesia. Sebab, civil law system menghendaki putusan definitif, bulat, dan utuh.
KHUMAR MAHENDRA | ANANDA BINTANG PURWARAMDHONA
Pilihan editor: Dissenting Opinion 3 Hakim MK Dipuji Ganjar, Mahfud Md dan PDIP