TEMPO.CO, Jakarta-Pengamat politik dari Universitas Indonesia Boni Hargens mengatakan isu suku, agama, ras, dan antargolongan atau SARA dalam pemilihan presiden 2019 tak akan terhindarkan. Isu tersebut dipastikan bakal beredar di masyarakat.
"Yang begini (isu SARA) pasti jalan. Itu kan strategi yang paling seksi yang bisa mereka lakukan," kata Boni usai diskusi Pemilu Damai Tanpa Sara di Cikini, Jakarta, Jumat, 14 September 2018.
Baca: Jokowi: Indonesia Merdeka Karena Pejuang Tidak Melihat SARA
Boni memperkirakan isu SARA tetap berkembang lantaran politikusnya gagal memahami kebebasan demokrasi. Mereka dinilai telah kehabisan akal untuk berpolitik secara adil. Menurut Boni penyelenggara serta pengawas pemilu perlu menetapkan aturan main yang tegas terkait dengan isu SARA. "Karena ini secara politik menguntungkan mereka tapi kita tahu itu merusak peradaban," ujarnya.
Peneliti Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo mengatakan ketaatan peserta pemilu terhadap aturan yang berlaku merupakan kunci penyelenggaraan pilpres yang damai. Jika salah satu pihak melanggar, misalnya dengan memainkan isu SARA, tindakan tersebut berpotensi menimbulkan reaksi.
Simak: Perlu Keterlibatan Semua Pihak untuk Meminimalisir Isu SARA dalam ...
Menurut Karyono peserta pemilu saat ini sudah cukup memberi contoh yang baik. Dia mencontohkan calon presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto yang berpelukan. Ketua tim sukses kubu Jokowi-Ma'ruf, Erick Thohir, juga tetap menjaga hubungan baik dengan calon wakil presiden Prabowo, Sandiaga Uno. "Mereka menunjukkan bahwa demokrasi itu boleh berbeda tapi tidak boleh menghancurkan persatuan," ujarnya.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Effendi Simbolon sependapat dengan Karyono. Menurut dia isu SARA bukan hal baru dalam pesta demokrasi. "Tinggal bagaimana peserta pemilu memberikan contoh dan teladan," katanya.