TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi atau MK akan membacakan putusan perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) 2024 pada Senin, 22 April 2024. Perkara sengketa Pilpres 2024 ini ditangani oleh delapan dari sembilan hakim konstitusi. Hasil putusan berpotensi imbang akibat jumlah hakim yang genap tersebut.
Kilas balik putusan MK soal batas usia capres-cawapres
Jelang Pilpres 2024, sejumlah pihak mengajukan gugatan kepada MK ihwal Pasal 169 huruf q UU Pemilu 2017 tentang batas minimal usia capres-cawapres. Dari sekian banyak pengajuan, hanya lima yang disidangkan, yakni nomor 29, 51, 55, 90, dan 91. Mereka meminta usia kandidat minimal 35 tahun. Usai menggelar berbagai sidang pendahuluan, MK membacakan putusan gugatan pada Senin, 16 Oktober 2023.
Dari lima judicial review, tiga di antaranya nomor 29, 51, dan 55 ditolak. Sedangkan dua lainnya diterima sebagian. MK menolak gugatan agar usia capres-cawapres menjadi 35 tahun. Aturan sebelumnya terkait batas minimal usia 40 tahun tetap berlaku. Tapi ada regulasi baru, MK menerima gugatan perkara 90/PUU-XXI/2023 ihwal kandidat prematur boleh maju asal berpengalaman sebagai kepala daerah.
Empat hakim MK berbeda pendapat soal batas usia capres-cawapres
Pemohon perkara itu adalah mahasiswa UNS bernama Almas Tsaqibbirru. Namun empat hakim MK menyatakan dissenting opinion atau pendapat berbeda soal putusan batas usia capres-cawapres minimal 40 tahun atau berpengalaman menjadi kepala daerah itu. Keempat hakim itu adalah Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, Saldi Isra, dan Arief Hidayat.
1. Wahiduddin Adams
Hakim konstitusi Wahiduddin Adam menyampaikan belasan pertimbangan. Salah satunya pengaturan batasan usia untuk capres cawapres sangat lazim dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Sebab, jabatan presiden dan wakil presiden secara esensial sangat berbeda dengan jabatan monarki yang umumnya diangkat pada berapa pun usia mereka.
Selain itu, kata Wahiduddin, jika MK mengabulkan permohonan perkara 90, baik seluruhnya maupun sebagian, maka yang sejatinya terjadi adalah MK melakukan praktik yang lazim dikenal sebagai legislating or governing from the bench atau mengatur/memerintah dari bangku cadangan, tanpa didukung alasan-alasan konstitusional yang cukup.
“Menimbang bahwa berdasarkan beberapa uraian argumentasi tersebut di atas, saya berpendapat Mahkamah seharusnya menolak permohonan pemohon,” kata Wahiduddin, Senin, 16 Oktober 2023, seperti dikutip Tempo dari salinan dokumen putusan MK.
2. Saldi Isra
Hakim konstitusi Saldi Isra juga menyatakan dirinya menolak permohonan a quo atas perkara 90/PUU-XXI/2023. Hal itu sebagaimana dalam putusan MK Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023. Saldi juga berpandangan bahwa seharusnya mahkamah pun menolak permohonan a quo.
“Bahwa berkaitan dengan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tersebut, saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda ini,” kata Saldi.
Sebab, kata Saldi, sejak menapakkan kaki sebagai hakim konstitusi di gedung Mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini ia mengalami peristiwa “aneh” yang “luar biasa”. Bahkan, Saldi berujar peristiwa itu dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar. “Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat,” ucap Saldi.
3. Arief Hidayat
Hakim konstitusi Arief Hidayat menuturkan, dari kelima perkara a quo, pihaknya merasakan adanya kosmologi negatif dan keganjilan. Adapun keganjilan yang disebutkan Arief yakni penjadwalan sidang yang terkesan lama dan ditunda, pembahasan dalam rapat permusyawaratan hakim, serta perkara nomor 900/PUU-XXI/2023 dan perkara nomor 91/PUU-XXI/2023 ditarik tetapi tetap dilanjutkan.
Terhadap perkara nomor 90 dan 91, Arief berpendapat pemohon telah mempermainkan muruah lembaga peradilan dan tidak serius dalam mengajukan permohonan. Menurut Arief, seharusnya Mahkamah mengeluarkan ketetapan yang mengabulkan penarikan permohonan a quo dengan alasan pemohon tidak besungguh-sungguh dan profesional dalam mengajukan permohonan.
“Sebagai konsekuensi hukum dari penarikan perkara, maka pemohon tidak dapat melakukan pembatalan pencabutan perkara a quo dan perkara yang telah dicabut atau ditarik tidak dapat diajukan kembali,” tutur Arief.
4. Suhartoyo
Hakim konstitusi Suhartoyo menyatakan dirinya tidak memberikan kedudukan hukum atau legal standing kepada para pemohon atas perkara nomor 29/PPU-XXI/2023 dan 51/PUU-XXI/2023. Alasannya, para pemohon bukan subjek hukum yang berkepentingan langsung untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden. Sehingga pemohon tidak relevan memohon untuk memaknai norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 untuk kepentingan pihak lain, sebagaimana dalam petitum permohonannya.
“Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, saya berpendapat terhadap permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi seharusnya juga tidak memberikan legal standing kepada pemohon dan oleh karenanya tidak ada relevansinya untuk mempertimbangkan pokok permohonan, sehingga dalam amar putusan a quo ‘menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima’,” kata Suhartoyo.
RIRI RAHAYU | ADE RIDWAN YANDWIPUTRA | AMELIA RAHIMA SARI
Pilihan Editor: Dosen Politik Universitas Udayana Sebut 5 Skenario Potensial Putusan Sengketa Pilpres oleh Hakim MK