TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Haffid Abbas menyatakan Radio Republik Indonesia berhak merilis hasil hitung cepat. Musababnya, hasil hitung cepat termasuk kebebasan berpendapat yang dilindungi Pasal 28 huruf j Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pasal tersebut, kata dia, disebutkan tentang kebebasan berpendapat bagi media massa.
“Dengan syarat, kebebasan yang memiliki batasan,” ujar Haffid saat dihubungi, Rabu, 16 Juli 2014. (Baca: RRI Dipanggil DPR, Netizen Serukan #SaveRRI)
Menurut Haffid, RRI idealnya memiliki kriteria khusus dan sudah diaudit oleh lembaga yang kredibel. “Supaya tak seenaknya publikasi hasil yang berpotensi menyesatkan masyarakat,” tuturnya. Namun dia mengakui belum ada lembaga yang memiliki kredibilitas untuk mengaudit lembaga survei di Indonesia. Komite etik untuk hal tersebut, kata dia, juga belum ada. (Baca: Alasan RRI Menutup Hasil Hitung Cepat)
Sebelumnya, Komisi Informasi Dewan Perwakilan Rakyat berencana memanggil RRI terkait dengan hasil hitung cepat yang memenangkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Wakil Ketua Komisi Informasi DPR Ramadhan Pohan beranggapan bahwa RRI tak bisa menyiarkan hasil hitung cepat. Alasannya, dana hitung cepat itu menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Anggota Dewan Pers, Stanley Adhi Prasetyo, juga mempertanyakan rencana pemanggilan RRI terkait dengan hasil hitung cepat. Menurut dia, RRI selaku lembaga publik dapat merilis hasil hitung cepat asal dengan informasi yang tepat. “RRI mewakili publik, harus dengan informasi yang benar,” ujar Stanley.
Stanley menilai hitung cepat yang dilakukan RRI masih dalam koridor jurnalistik. Yakni, untuk mencari, memperoleh, memiliki, dan mengolah informasi yang menjadi bagian dari riset media.
AMRI MAHBUB
Terpopuler
Ahok Tetapkan Syarat Ini Waktu Sumbang Zakat
Guru JIS Diduga Pakai Obat 'Magic Stone'
Agnes Monica Unggah Foto Nonton Bola Bareng Daniel
Dewan Pers: Karikatur Jakarta Post Bukan Pidana
Relawan Jokowi-JK Temukan Penggelembungan Suara
Rekapitulasi Suara di KPU Bandung Lancar
Pertama dalam Sejarah, 2 Menteri Diperiksa KPK