TEMPO.CO, Jakarta - Hasil Pemilihan Umum Presiden atau Pilpres 2024 tampaknya akan disengketakan ke meja hijau Mahkamah Konstitusi (MK). Meski hasil akhir rekapitulasi belum diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md sudah menyiapkan prosedur hukum yang akan ditempuh jika kalah.
Sengketa perselisihan hasil pemilihan umum atau PHPU juga terjadi pada Pilpres 2019. Prabowo Subianto yang maju bersama Sandiaga Uno dinyatakan kalah oleh KPU berdasarkan hasil rekapitulasi. Prabowo-Sandi mendapatkan 44,5 persen suara. Rivalnya, Joko Widodo atau Jokowi yang didampingi Ma’ruf Amin menang dengan persentase suara 55,50. Prabowo tak menerima hasil tersebut dan menggugat ke MK.
Lantas, seperti apa jejak sengketa Pilpres 2019?
Sengketa Pilpres memang sudah lazim dan bahkan menjadi agenda ajek. Sejak Pemilu digelar secara langsung alias keputusan memilih kandidat sepenuhnya di tangan rakyat per 2004, mulai saat itu sengketa Pilpres menjadi “budaya”. Selama lima kali menggelar pemilihan kepala negara, kesemuanya berujung sengketa, termasuk dalam Pilpres terakhir bila jadi.
Desus mengajukan sengketa hasil Pilpres 2024 diembuskan tim hukum kubu Anies-Muhaimin melalui pemimpinnya, Ari Yusuf Amir. Mereka akan mengajukan gugatan jika hasil rekapitulasi suara memenangkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Mereka berfokus pada penetapan Gibran sebagai calon wakil presiden.
Sementara itu, tim hukum kubu Ganjar-Mahfud juga tengah merumuskan gugatan yang akan diajukan ke MK. Juru bicara Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Cyril Roul Hakim atai Chico Hakim menyatakan bahwa ada banyak kecurangan dalam proses pemungutan suara yang perlu diselesaikan.
Jejak sengketa Pilpres 2019
Pasangan Pilpres 2019 dengan nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno memutuskan untuk mengajukan gugatan ke MK pada medio Mei 2019 setelah dinyatakan kalah. Tim hukum Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi menuding kubu Jokowi-Ma’ruf melakukan kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Beberapa dalil TSM yang diajukan antara lain, mereka menuding ada penyalahgunaan anggaran oleh kubu Jokowi. Kubu Jokowi disebut sengaja menaikkan gaji dan rapel PNS. Jokowi juga dituding menyalahgunakan birokrasi dengan mengerahkan pegawai BUMN. Selain itu, ada pembatasan kebebasan pers, pengerahan aparat negara, dan diskriminasi terhadap pendukung mereka.
Sidang perdana sengketa Pilpres 2019 digelar pada Jumat, 14 Juni 2019 dengan agenda sidang membacakan gugatan pemohon. Kubu Prabowo-Sandi, melalui Ketua Tim Kuasa Hukumnya Bambang Widjojanto, meminta MK membatalkan keputusan KPU terkait penetapan hasil Pilpres 2019. Mereka juga meminta dibatalkannya berita acara KPU tentang hasil Pilpres 2019 yang menetapkan Jokowi-Ma’ruf meraih suara terbanyak.
“Kami mohon kepada Mahkamah Konstitusi agar memberikan putusan dengan amar sebagai berikut, mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya, menyatakan batal dan tidak berlakunya keputusan Komisi Pemilihan Umum tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD, DPRD Kabupaten, secara nasional tahun 2019,” ujar Bambang di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Jumat, 14 Juni 2019.
Sidang kedua sengketa Pilpres 2019 kemudian digelar pada 18 Juni 2019. Pada persidangan ini, KPU menyiapkan alat bukti berupa 300 dari 6000 halaman jawaban gugatan atas dalil yang relevan. KPU dalam sidang menegaskan bahwa Pemilu berlangsung dengan lancar, sesuai asas langsung bebas, jujur, dan rahasia. Kala itu KPU meminta agar KPU menolak seluruh permohonan Prabowo-Sandi sebab dinilai tidak memiliki titik jelas.
Pada akhirnya MK memutuskan menolak seluruh gugatan kubu Prabowo-Sandi dalam sengketa Pilpres 2019 tersebut. Putusan dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman dalam sidang yang selesai ,Pada Kamis, 27 Juni 2019. Hakim MK mematahkan semua dalil kubu Prabowo-Sandi. Mahkamah menilai dalil terkait kecurangan Pemilu secara STM tak terbukti dan tak beralasan secara hukum.
“Menolak seluruh permohonan pemohon,” kata Ketua Hakim MK Anawar Usman.
MK juga menyatakan klaim kemenangan Prabowo-Sandi dengan perolehan 52 persen suara tak dilengkapi bukti yang lengkap. Adapun dalam gugatannya, Prabowo mengklaim perolehan 68.650.239 atau 52 persen suara, sementara perhitungan mereka Jokowi-Ma’ruf hanya meraih 63.573.169 atau 48 persen suara.
Setelah Mahkamah mencermati, pemohon tidak melampirkan bukti hasil rekapitulasi yang lengkap dari 34 provinsi sebagaimana didalilkan pemohon. Dalam pembuktiannya, kubu Prabowo-Sandi hanya melampirkan hasil foto dan pindai yang tidak jelas mengenai sumbernya dan bukan C1 resmi yang diberikan pada saksi 02.
“Berdasarkan fakta di atas, Mahkamah berpendapat dalil pemohon tidak beralasan menurut hukum,” ujar Hakim MK Arief Hidayat dalam sidang di Gedung MK, Jakarta, Kamis, 27 Juni 2019.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | PUTRI SAFIRA PITALOKA | SYAILENDRA PERSADA | DEWI NURITA
Pilihan Editor: Todung Mulya Lubis dan Henry Yosodiningrat dari TPN Ganjar-Mahfud Siap Bongkar Indikasi Kecurangan Pemilu 2024