Mentok secara politik, Koalisi Masyarakat Sipil lantas mengajuikan uji materi terhadap PKPU tersebut ke Mahkamah Konstitusi pada 5 Juni 2023. Sayangnya uji materi tersebut masih belum berbuah keputusan hingga saat ini.
Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan juga membuat laporan terhadap KPU ke DKPP pada 15 Agustus lalu. Dalam laporannya, mereka menilai KPU telah melanggar prinsip kemandirian dalam menyusun regulasi karena mengikuti kehendak partai-partai politik di DPR RI.
Selain itu, Ketua KPU juga dinilai melakukan pembohongan publik karena tak menepati janjinya untuk merevisi Pasal 8 ayat (2) huruf a PKPU Nomor 10 Tahun 2023.
Intan Bedisa, anggota koalisi perwakilan dari International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) menyampaikan kekecewannya terhadap KPU. Dia menilai aturan itu telah memangkas semangat kesetaran gender.
"Saya rasa ini sudah sepatutnya para perempuan itu tersinggung terkait dengan hal ini karena ongkos politik untuk seorang perempuan itu sudah tinggi sekali. Ongkos artinya bukan hanya soal materi tetapi kemudian budaya patriarkis yang mengekung mereka sehingga mereka sulit untuk maju," ujar Intan usai melakukan laporan ke DKPP.
Ketua Divisi Teknis KPU RI, Idham Kholik, pun menanggapi santai soal tudingan pihaknya melakukan pelanggaran. Dia menyatakan KPU tetap berpegang pada PKPU No 10 Tahun 2023 yang tak direvisi.
Idham menyatakan KPU baru akan melakukan revisi jika memang MK mengabulkan uji materi yang diajukan oleh koalisi.
“Sebagai warga negara yang baik, sebaiknya kita tunggu putusan MA atas perkara judicial review tersebut.” Ucap Idham.
Idham juga membantah anggapan jika jumlah bacaleg dalam DCS tak memenuhi kuota 30 persen. Dia sempat memberikan data caleg dalam DCS DPR RI untuk Pemilu 2024 dari setiap partai politik. Dalam data yang berbentuk rekapan tersebut, berdasarkan perhitungan KPU, setiap partai rata-rata mengajukan caleg perempuan di atas 30 persen. Namun, dia tak memberikan data persentase per dapil.
ADINDA YOVITA|TIKA AYU|ANTARA|FEBRIYAN