TEMPO.CO, Jakarta - Partai Solidaritas Indonesia atau PSI mengusulkan adanya debat partai politik menjelang Pemilu. Juru bicara PSI, Azmi Abubakar menilai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum cenderung abai terhadap pendidikan politik kepada pemilih. “Kami melihat UU Pemilu yang ada itu cenderung abai kepada pendidikan pemilih,” ujar Azmi di Kantor KPU, Jakarta Pusat, Jumat, 15 Maret 2019.
Baca juga: Pesan Politikus NasDem ke PSI: Jangan Gelapkan Rumah Orang Lain
PSI, kata Azmi mendorong KPU untuk menginisiasi dan memfasilitasi debat antar partai politik peserta Pemilu 2019.
Keinginan itu muncul setelah pidato Ketua Umum PSI Grace Natalie di Medan beberapa waktu lalu mengundang komentar pedas elit parpol lainnya.
"Untuk itu, debat antarpartai yang diusulkan PSI dinilai sangat penting, karena jangan sampai masyarakat hanya fokus pada Pilpres dan mengabaikan Pileg," kata dia.
Menurut Azmi, materi debat bisa menyoal program-program partai dan komitmen politik dari para calon anggota legislatif. “Kami menyampaikan usulan dari PSI agar dimediasi atau dibuat sebuah acara debat untuk partai-partai politik peserta Pemilu 2019,” tutur Azmi.
Ia menjelaskan pemilih harus menilai seperti apa caleg-caleg yang akan dipilih. Pemilih harus mengetahui program-program partai yang ditawarkan seperti isu-isu publik. "Bagaimana pandangan sebuah partai terhadap korupsi atau terhadap intoleransi, atau normalisasi kekerasan misalnya,” kata dia.
Meski pihaknya paham keterbatasan UU Pemilu terkait penyelenggaraan debat parpol, Azmi berharap KPU punya terobosan penting untuk mengenalkan parpol dan caleg kepada masyarakat luas.
“Walaupun tidak diatur oleh UU Pemilu, tetapi setidaknya ada improvisasi dari pihak KPU untuk memfasilitasi ini. Ini mendesak. Pemilu sebentar lagi, jangan sampai Pemilu ini hanya memilih Presiden,” ujar dia.
Ketua KPU Arief Budiman yang menerima perwakilan PSI mengapresiasi masukan soal debat antarparpol.
Baca juga: Serangan PSI ke Partai Nasionalis Menuai Kritik Balik
“Ide ini menarik, karena publik atau pemilih itu nggak cukup cuma tahu siapa Capres dan Cawapres. Kita bahas dulu, sebagai ide saya apresiasi, menarik betul,” kata Arief.
Namun demikian, kata Arief ada keterbatasan bila ingin menginisiasi debat parpol. Keterbatasan itu terkait UU Pemilu dan sistem pemilu itu sendiri.
“Kalau based on regulations, perintah atau metode kampanye dalam bentuk debat itu hanya untuk paslon Capres dan Cawapres, selebihnya diatur tidak dalam bentuk debat memang,” ujar Arief.
Menurut dia, kalau Pilpres, daerah pemilihannya ya se-Indonesia, maka perdebatan seluruh Indonesia maka cukup diwakili oleh pasangan Capres dan Cawapres. "Nah DPR RI misalnya, maka debat itu dilangsungkan dalam lingkup daerah pemilihan itu, karena orang dipilih bukan untuk mewakili seluruh wilayah,” ucap dia.