TEMPO.CO, Jakarta - Saiful Mujani Research dan Consulting menilai pasangan calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla mampu memanfaatkan momentum akhir masa kampanye dengan baik. Dua faktor yang paling mempengaruhi adalah penyelenggaraan Konser Revolusi Mental Salam Dua Jari di Gelora Bung Karno dan penampilan saat debat sesi terakhir.
“Dua peristiwa itu ikut mendongkrak elektabilitas Jokowi,” ujar Direktur Riset SMRC Djayadi Hanan ketika dihubungi, Selasa, 8 Juli 2014.
Menurut Djayadi, dua momentum itu memberikan energi positif bagi Jokowi. Sedangkan pada akhir masa kampanye kemarin, pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa nyaris tidak memperlihatkan manuver yang berarti.
“Ini menandakan dua hal: momentum peningkatan elektabilitas Prabowo sudah berhenti dan elektabilitas Jokowi sudah mulai rebound,” katanya. “Meski demikian, momentum itu masih akan dipengaruhi oleh peristiwa di sekitar tanggal 6-9 Juli," ucapnya.
Pada masa tenang kemarin, kata Djayadi, kedua kandidat terlihat masih sering dihantam kampanye negatif. Contoh di antaranya isu larangan nyoblos bagi pemilih Jokowi di Hong Kong. Djayadi menilai insiden itu memicu kemarahan bagi calon pemilih yang masih ragu. “Mereka jadi peduli untuk membuat keputusan,” katanya.
Sedangkan kasus kain ihram Jokowi dengan cepat dianggap sebagai kampanye hitam. “Masyarakat tahu isu itu 'digoreng' oleh pendukung Prabowo,” ujarnya.
Survei yang diselenggarakan SMRC pada 30 Juni-3 Juli lalu itu menyatakan 44,9 persen responden cenderung memilih pasangan Prabowo-Hatta. Sedangkan 47,6 persen di antaranya mantap memilih Jokowi. Sisanya mengaku belum bisa mengambil keputusan, enggan menjawab, atau merahasiakan jawaban.
Selisih dukungan di antara dua kandidat itu kini hanya terpaut 2,7 persen. “Dengan margin of error 2,2 persen, masih sulit kiranya menentukan siapa yang akan menjadi pemenang,” ujarnya.
Dalam kondisi tersebut, Djayadi mengkhawatirkan potensi masalah terkait dengan hasil penghitungan suara. Setiap pendukung bisa saling mengklaim kemenangan dengan mencari-cari kelemahan dari kubu lawan. Potensi sengketa muncul jika jarak penghitungan suara sangat kecil.
Setiap kandidat akan mempersoalkan masalah itu, baik ke ranah hukum bahkan hingga memantik kericuhan. “Ini menjadi warning bagi pemerintah, Komisi Pemilihan Umum, dan Badan Pengawas Pemilu,” katanya.
RIKY FERDIANTO
Berita lainnya:
Buruh Bantah Dukung Prabowo di Hari Tenang
Bos Lion Air Incar Proyek Kereta Ekspres Bandara
Kereta Super Cepat Bandung-Jakarta Segera Dibangun