TEMPO.CO, Jakarta - Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat mengatakan MK tidak memanggil Presiden Joko Widodo atau Jokowi dalam sidang sengketa Pilpres 2024 karena Jokowi berstatus sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
Menurut Arief, tidak elok memanggil Jokowi ke persidangan karena Presiden menjadi simbol negara yang harus dijunjung tinggi. Ia awalnya mengatakan dirinya sudah tiga kali ikut mengadili sengketa Pilpres dan Pileg di MK. Arief mengatakan dirinya punya pemahaman mendalam soal sengketa Pilpres dan Pileg.
“Karena Presiden sekaligus kepala negara dan kepala pemerintahan. Kalau hanya sekedar kepala pemerintahan akan kita hadirkan di persidangan ini. Tapi, karena Presiden sebagai kepala negara, simbol negara yang harus kita junjung tinggi oleh semua stakeholder,” ucap Arief di Gedung I MK RI, Jakarta, Jumat, 5 April 2024, seperti dilansir dari Antara.
Karena itu, kata dia, MK memutuskan untuk memanggil pembantu presiden, yakni empat menteri Kabinet Indonesia Maju yang relevan dengan dalil kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. “Maka kami memanggil para pembantunya dan pembantunya ini yang berkaitan dengan dalil pemohon,” tuturnya.
Arief menjelaskan keempat menteri yang hadir tidak disumpah di awal persidangan karena sumpah jabatan masih melekat pada diri mereka. “Beliau itu tidak disumpah karena sumpah jabatan yang dilakukan di Istana pada waktu dilantik menjadi menteri melekat sampai pada waktu memberikan keterangan di persidangan ini. Jadi Bapak Menko (menteri koordinator) dan Ibu Menteri itu memberikan keterangan di sini di bawah sumpah di pengadilan,” imbuhnya.
Baca Juga:
Di samping itu, Arief mengatakan sengketa Pemilu kali ini lebih heboh dari Pemilu 2014 dan 2019. Dia menyinggung soal pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi hingga penyelenggara Pemilu seperti KPU. Ia mengatakan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024 merupakan yang paling hiruk pikuk dibandingkan Pilpres 2014 dan 2019. “Ada pelanggaran etik yang dilakukan di MK, dilakukan di KPU, dan banyak lagi yang menyebabkan hiruk pikuk itu,” katanya.
Dia juga mengungkit soal dugaan cawe-cawe Jokowi dalam Pemilu. Menurut dia, hal itu menjadi salah satu dalil dalam permohonan pemohon. Hiruk pikuk tersebut yang di antaranya terkait dugaan keberpihakan Presiden, keterlibatan ASN, ketidaknetralan TNI-Polri, dan keterlibatan penjabat kepala daerah.
"Nah yang terutama mendapat perhatian yang sangat luas dan kemudian didalilkan oleh pemohon itu cawe-cawenya kepala negara. Nah cawe-cawenya kepala negara ini, mahkamah sebetulnya juga 'Apa iya kita memanggil kepala negara, Presiden RI?' kelihatannya kan kurang elok karena presiden sekaligus kepala negara dan kepala pemerintahan," sambung Arief.
Karena itu, kata dia, MK memanggil keempat menteri untuk didalami keterangannya perihal benar tidaknya dalil kubu Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud. "Kalau hanya sekadar kepala pemerintahan akan kita hadirkan di persidangan ini, tapi karena presiden sebagai kepala negara, simbol negara, yang harus kita junjung tinggi oleh semua stakeholder maka kita memanggil para pembantunya. Dan pembantunya ini yang terkait dengan dalil pemohon," ujarnya.
AMELIA RAHIMA SARI
Pilihan Editor: Jelang Putusan MK, Tim Hukum Anies Sebut Hasil Bergantung Keberanian Hakim