TEMPO.CO, Jakarta - Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa setiap calon kepala daerah mesti mengeluarkan modal besar dalam kampanye. Namun, saat mereka menjabat, bagaimana mendapatkan uang untuk menutupi modal tersebut?
"Caranya, memanipulasi kewenangan dan memperdagangkan jabatan," ujar Rektor Institut Perbanas, Marsudi Wahyu Kisworo, dalam diskusi di kampusnya, Selasa, 1 April 2014.
Baca Juga:
Marsudi mengatakan mengetahui cara ini saat menjadi politikus Partai Amanat Nasional. "Saya 'dilamar' jadi bupati di salah satu kabupaten di Jawa Timur. Katanya, kalau maju, pasti menang," tuturnya.
Marsudi mengaku sempat mempertimbangkan tawaran itu. Tapi, kata si "pelamar", Marsudi harus menyiapkan Rp 30 miliar untuk kampanye. Kontan Marsudi kaget dan bertanya kepada orang itu, bagaimana mendapatkan kembali Rp 30 miliar yang lenyap itu. Sebab, gaji bupati hanya sekitar Rp 7,5 juta sebulan. Ditambah tunjangan ini-itu, kata dia, nilainya mungkin cuma Rp 45 juta tiap bulan.
"Dia bilang, kalau sudah menjabat, Bapak bisa panggil orang. Yang mau jadi kepala dinas, setor Rp 600 juta. Jadi sebulan bisa dapat Rp 2-3 miliar. Betapa dahsyatnya ongkos politik ini," kata Marsudi. Ia mengaku menolak tawaran tersebut karena ia tak punya uang untuk membiayai kampanye semahal itu.
Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Inspektur Jenderal (Purnawirawan) Polisi Bibit Samad Rianto, menuturkan ia pernah mendengar bahwa kisah serupa terjadi di Jakarta. "Jadi Gubernur DKI Jakarta, setahun bisa dapat penghasilan sekitar Rp 500 miliar. Kalau lima tahun menjabat, bayangkan, sudah Rp 2,5 triliun," ucapnya. Artinya, kalaupun kampanye si kandidat gubernur mencapai Rp 500 miliar, ia masih bisa meraup untung Rp 2 triliun.
BUNGA MANGGIASIH
Topik terhangat:
MH370 | Kampanye 2014 | Jokowi | Prabowo | Dokter TNI AU
Berita terpopuler lainnya:
3 Insiden Ini Bikin Heboh Saat SBY Berkampanye
PPATK Kritik Cara KPK Tangani Adik Ratu Atut
Telat Ngantor, Jokowi: Pemimpin Kok Diabsen
Kata Ahok Soal Sumbangan Rp 60 M Prabowo di Pilgub