Kisruh soal kuota caleg perempuan sendiri sudah dimulai sejak KPU mengeluarkan peraturan soal tata cara perhitungan. Dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 disebutkan perhitungan kuota 30 persen caleg perempuan menggunakan pembulatan ke bawah jika ada pecahan desimal di bawah 0,5.
Aturan itu lantas mendapatkan protes dari Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan karena dinilai melanggar Pasal 460 ayat 1 UU Pemilu. KPU sempat akan mengubah PKPU itu namun akhirnya dibatalkan setelah berkonsultasi dengan DPR RI.
Koalisi kemudian menggugat PKPU itu ke Mahkamah Agung (MA) yang kemudian mengeluarkan putusan No.24 P/HUM/2023. Dalam putusannya, MA menyatakan dan Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023 melanggar UU Pemilu dan memerintahkan KPU untuk mengubahnya.
Akan tetapi KPU tak mengikuti putusan MA tersebut. Mereka hanya memberikan surat edaran kepada seluruh partai politik peserta Pemilu 2024 untuk menjadikan putusan MA sebagai pedoman untuk menyusun DCT.
Alhasil, sebagian besar partai politik tetap mengajukan DCT yang tak sesuai dengan ketentuan kuota 30 persen caleg perempuan. Meskipun demikian, KPU tetap mengesahkan DCT tersebut sehingga akhirnya digugat ke Bawaslu.
"Para pelapor berharap Bawaslu dapat memprioritaskan penanganan laporan tersebut dan membuat keputusan dalam waktu sesegera mungkin demi tegaknya penyelenggaraan Pemilu 2024 yang inklusif, demokratis, dan konstitusional," ucap Hadar.