TEMPO.CO, Jakarta - Pesta demokrasi akan segera digelar pada 2024 mendatang. Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan Pemilihan Umum (Pemilu) akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024. Nantinya masyarakat Indonesia akan menggunakan hal pilihnya untuk memilih calon presiden, calon wakil rakyat hingga kepala daerah secara serentak pada Pemilu 2024.
Diketahui Indonesia telah melaksanakan beberapa kali Pemilu. Dimulai sejak tahun 1955, 1971, 1977-1997, 1999, 2004, 2009, 2014 dan 2019. Lalu, sebenarnya bagaimana sejarah Pemilu di Indonesia?
Sejarah Pemilu di Indonesia
Pemilu di Indonesia telah berlangsung dalam tiga era pemerintahan yaitu Masa Parlementer, Orde Baru, dan Reformasi. Awalnya, pada tanggal 3 November 1945 melalui Maklumat X atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta, mendorong pembentukan partai-partai politik untuk persiapan rencana penyelenggaraan Pemilu 1946.
Namun rencana tersebut tidak dapat dilaksanakan karena tidak adanya perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan pemilu, rendahnya stabilitas keamanan negara serta pemerintah dan rakyat yang fokus mempertahankan kemerdekaan. Kemudian Pemilu pertama kali baru bisa dilaksanakan pada 1955 dan terus berlangsung hingga saat ini. Berikut penjelasan singkat tentang pelaksanaan pemilihan umum dari masa ke masa.
1. Pemilu 1955
Pada tahun 1955, diadakan Pemilihan Umum (Pemilu) nasional pertama di Indonesia. Sesuai dengan UU No.7 Tahun 1953, Pemilu 1955 dilaksanakan dua kali. Pemilu pertama diadakan pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sedangkan Pemilu kedua diadakan pada tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Dewan Konstituante.
Pemilu 1955 diikuti oleh lebih dari 30 partai politik dan lebih dari seratus kelompok dan calon perseorangan. Muncul pandangan bahwa Pemilu 1955 adalah pemilu yang paling demokratis dan transparan dalam sejarah Indonesia.
Kemudian pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang menetapkan UUD 1945 sebagai Dasar Negara. Konstituante dan DPR hasil pemilu digantikan oleh DPR-GR. Selain itu, kabinet yang ada diganti dengan Kabinet Gotong Royong, dan Ketua DPR, MPR, BPK, dan MA diangkat menjadi pembantu Soekarno dengan jabatan menteri.
Sistem yang diterapkan dalam Pemilu 1955 adalah sistem perwakilan proporsional tertutup atau perwakilan berimbang. Dalam sistem ini, kursi yang tersedia didistribusikan kepada partai politik (organisasi peserta pemilu) sesuai dengan perolehan suara yang mereka dapatkan. Dalam sistem ini wilayah negara adalah daerah pemilihan. Akan tetapi, karena terlalu luas maka dibagikan berdasarkan daerah pemilihan dengan membagi sejumlah kursi dengan perbandingan jumlah penduduk.
2. Pemilu 1971
Setelah masa pemerintahan Presiden Soekarno, MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) menunjuk Soeharto sebagai Pejabat Presiden pada tanggal 12 Maret 1967. Kemudian, pada tanggal 27 Maret 1968, Soeharto secara resmi ditetapkan sebagai Presiden melalui hasil Sidang Umum MPRS (TAP MPRS NO. XLIV/MPRS/1968).
Pada Pemilu 1971, rezim Orde Baru mulai mengurangi persaingan politik dan menekan pluralisme politik. Terkait dengan pembagian kursi, metode pembagian yang digunakan dalam pemilu 1971 berbeda dengan pemilu 1955. Pada periode tersebut, mereka menggunakan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 sebagai dasar, di mana semua kursi didistribusikan secara penuh di setiap daerah pemilihan.
Pemilu 1971 diikuti oleh 10 partai politik dan 1 organisasi massa, yaitu NU (Nahdlatul Ulama), Parmusi, PSII (Partai Sosialis Islam Indonesia), PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia), PNI (Partai Nasional Indonesia), dan Golkar. Hasilnya, Golkar sebagai partai mayoritas meraih 62,82% suara, diikuti oleh NU, PNI, dan Parmusi.
3. Pemilu 1977
Pemilu berikutnya pada tahun 1977 menandai dimulainya praktik pemilihan umum secara teratur setiap lima tahun. Pemilu 1977 diadakan pada masa pemerintahan Orde Baru untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Dalam Pemilu 1977 ini juga terjadi penyederhanaan atau penggabungan partai politik, di mana sepuluh partai politik digabung menjadi tiga. Ketiga partai tersebut ialah PPP, PDI, dan Golkar yang terus berpartisipasi dalam pemilu hingga tahun 1997. Golkar kemudian tetap menjadi partai mayoritas dalam pemilu 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Sejak Pemilu 1977, jumlah peserta pemilu menjadi lebih sedikit yaitu hanya tiga partai politik. Selain itu, hasil pemilu juga selalu sama, di mana Golkar selalu menjadi pemenang, sementara PPP dan PDI berperan sebagai pelengkap atau sekadar ornamen. Bahkan, Golkar telah menjadi pemenang sejak tahun 1971.