Artikel editorial Harian The Jakarta Post tanggal 4 Juli 2014 yang berisi dukungan resmi kepada pasangan Jokowi-JK. TEMPO/Charisma Adristy
TEMPO.CO, Jakarta - Reaksi calon presiden Prabowo Subianto terhadap harian The Jakarta Post dinilai berlebihan. Pengamat pers, Abdullah Alamudi, menjelaskan reaksi itu merupakan manuver untuk menghindari pemberitaan dari media yang tidak sejalan dengannya. “Dia bicara untuk kepentingan dia sendiri. Buktinya, dia tidak pernah mempersoalkan media yang berpihak sama dia,” kata Abdulah Alamudi ketika dihubungi, Selasa, 15 Juli 2014.
Prabowo kembali bersikap reaktif terhadap pekerja media. Ketika ditemui wartawan The Jakarta Post di Tugu Proklamasi pada Senin sore, 14 Juli 2014, Prabowo menolak wawancara lantaran menganggap media tersebut berpihak pada kubu lawan. Ia pun sempat melontarkan kata "brengsek" kepada pimpinan media itu. Ini bukan kejadian pertama. Reaksi serupa pernah ia lakukan terhadap jurnalis MetroTV,Kompas, dan Tempo.
Menurut Abdullah, permohonan wawancara itu merupakan upaya media untuk menggali informasi atau mengklarifikasi isu tertentu kepada narasumber. Dalam posisi itu, kata Abdullah, Prabowo memiliki hak untuk meladeni atau menolak permohonan wawancara. Namun penolakan itu tentu akan merugikan ia sendiri.
“Dia tidak memanfaatkan panggung yang disediakan pers mengenai masalah yang dipertanyakan. Dia tidak menggunakan haknya menjawab serangan yang ditujukan kepadanya,” kata mantan anggota Dewan Pers ini.
Abdullah mengakui keberpihakan The Jakarta Post belum sepenuhnya bisa dipahami masyarakat. Padahal praktek jurnalisme itu lazim berlaku di Eropa atau Amerika. Media menjelaskan bahwa keberpihakan itu dilakukan lantaran menganggap figur tertentu mampu menjawab permasalahan di negara yang bersangkutan.
“Tapi keberpihakan itu tidak mempengaruhi penerapan kaidah jurnalistik dalam pembuatan berita,” ujarnya.
DPR Dorong KPU dan Bawaslu Antisipasi Potensi Masalah Pemilu 2024
22 Desember 2021
DPR Dorong KPU dan Bawaslu Antisipasi Potensi Masalah Pemilu 2024
Komisi II DPR meminta KPU dan Bawaslu Provinsi Jawa Barat mengantisipasi kesulitan pemilih menggunakan hak pilih, lantaran diprediksi akan banyak surat suara.