Menlu: Dua Capres Sejalan di Isu Laut Cina Selatan
Editor
Maria Rita Hasugian
Rabu, 25 Juni 2014 07:33 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menilai tidak ada perbedaan yang substantif dalam pendapat dua calon presiden, Jokowi dan Prabowo, ihwal isu Laut Cina Selatan yang diutarakan dalam debat pekan lalu. “(Dalam debat tentang) Laut Cina Selatan, sebenarnya, menurut hemat kami sebagai orang awam, tidak ada perbedaan yang substantif dan menonjol di antara kedua calon presiden. Saya tahu memang seolah-seolah ada yang mempertajam perbedaan di antara kedua capres, (tapi perbedaan) itu tidak ada,” kata Marty di Gedung Pancasila, Jakarta, Selasa, 24 Juni 2014.
Kepedulian Indonesia mengenai Laut Cina Selatan sudah dimulai 20 tahun lalu, tepatnya sejak 1985, melalui proses South China Sea Workshop Series. “Jadi sangat betul yang disampaikan oleh salah satu calon presiden bahwa Indonesia peduli dan perlu memberikan kontribusi sesuai dengan kemampuan kita,” kata Marty. (Baca:Daftar Kata Favorit Prabowo-Jokowi di Debat Capres)
Marty juga menepis adanya perbedaan pandangan kedua capres perihal ada-tidaknya sengketa yang melibatkan Indonesia di Laut Cina Selatan. “Kalau bicara tentang sengketa di Laut Tiongkok Selatan seperti yang kita pahami selama ini, yaitu, misalnya, sengketa mengenai Kepulauan Paracel, Kepulauan Spartly, jelas Indonesia bukan (termasuk) negara (yang) (ber)sengketa. Yang bersengketa di sana adalah Tiongkok, entitas Taiwan, ada Brunei, ada Malaysia, ada Vietnam, dan ada Filipina,” ujar Marty.
Karena itu, Indonesia punya ruang dan peluang berkontribusi untuk mencari titik tengah dan titik temu atas persoalan Laut Cina Selatan. Namun sebuah negara tidak bisa terlibat begitu saja dalam suatu sengketa lantaran salah satu prasyarat diterimanya peran pihak ketiga dalam sengketa itu, baik sebagai fasilitator maupun mediator, adalah negara-negara terkait mau menerima negara tersebut. (Baca:Debat Capres, Menlu Marty: Meneduhkan)
Penerimaan itu tergantung pada penilaian masing-masing negara yang bersengketa, apakah betul keterlibatan negara yang ingin membantu itu bisa menyelesaikan masalah, atau malah menambah masalah. Faktanya, kata Marty, Indonesia telah berkontribusi sebagai fasilitator sejak 1985.
Namun bukan berarti Indonesia sama sekali tidak bersinggungan atau terkena dampak, terutama karena nine-dotted line yang dibuat oleh Cina menjurus ke selatan atau ke wilayah Indonesia.
“Secara resmi Indonesia sudah pernah mempertanyakan nine-dotted line ini. Kita sampaikan ke PBB, intinya adalah apa yang menjadi dasar hukum, bukan dasar sejarah, dari nine-dotted line ini. Karena ini berpotensi menimbulkan kesalahpahaman dan berpotensi menimbulkan pertanyaan tentang seberapa jauh cakupan dari nine-dotted lines ini,” kata Marty.
Sedangkan khusus mengenai Kepulauan Natuna, menurut Marty, Indonesia dan Cina tidak bersengketa. “Karena Anda lihat sendiri ada pernyataan dari pemerintah Tiongkok yang menyatakan hal tersebut,” kata Marty.
NATALIA SANTI
Berita lainnya:
Hari Ini, Ada Foto Risiko Merokok di Kemasan
AJI: Berita Capres di Tempo dan Kompas Berimbang
Suami Airin Dihukum Terlalu Ringan, KPK Bakal Banding