Dokter Zubairi Sebut Data Kematian KPPS Penting untuk Tepis Hoaks

Reporter

Tempo.co

Senin, 13 Mei 2019 13:49 WIB

Ketua KPU Arief Budiman menyalami keluarga almarhum Umar Madi (Ketua KPPS TPS 68 Sukabumi Selatan) saat menyerahkan santunan di Kebon Jeruk, Jakarta, Jumat, 3 Mei 2019. TEMPO/Muhammad Hidayat

TEMPO.CO, Jakarta - Pakar kedokteran ilmu penyakit dalam, Zubairi Djoerban, mengatakan kejelasan data petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal penting untuk menepis hoaks.

Baca: Kemenkes Temukan 13 Penyakit Penyebab Meninggalnya Petugas KPPS

"Kita perlu data yang sakit dan meninggal dunia. Data itu penting dan perlu untuk pencegahan dan mengobati yang sakit, dan bisa menepis hoaks," kata Zubairi dalam acara diskusi di Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Senin, 13 Mei 2019.

Zubairi yang juga menjabat sebagai Ketua Tim Pemeriksaan Kesehatan Calon Presiden dan Wakil Presiden mengatakan data yang lengkap akan membantu pencegahan dan pengobatan selanjutnya.

"Penyebab kematian ini bisa dicegah. Namun penyebab kematian perlu dilengkapi dengan data faktor kesehatan sebelum bekerja dan pemeriksaan kesehatan jiwa sebelum bekerja. Upaya pencegahan penting sekali agar tidak ada lagi yang meninggal dunia," katanya.

Dalam diskusi tersebut, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, Tri Hesti Widyastuti juga mengatakan hingga Ahad, 12 Mei 2019 otopsi verbal sudah dilakukan di 17 provinsi. Setidaknya tercatat 445 orang meninggal dunia, dan jumlah yang sakit mencapai 10.007 orang.

"Berdasarkan data otopsi verbal, yang jatuh sakit paling banyak di DKI Jakarta, Banten, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Kematian tertinggi 177 korban di Jawa Barat. Kami tidak menyangka Kalimantan Selatan menempati nomor 2 saat ini," katanya.

Dari data tersebut, Tri juga mengatakan otopsi dan pendataan ini tidak mudah lantaran tidak semua korban meninggal dunia di rumah sakit. "Hingga saat ini, korban yang meninggal di luar rumah sakit dilakukan otopsi verbal. Sedangkan yang di dalam rumah sakit, dilakukan audit medis bagi yang sakit dan audit kematian bagi yang meninggal dunia," katanya.

Selama 17 April hingga 7 Mei 2019, Komisi Pemilihan Umum telah mencatat jumlah petugas yang menderita sakit sebanyak 4.310 orang, dan jumlah petugas yang meninggal dunia 456 orang. Jumlah seluruh petugas pemilu tercatat 7.286.067 orang.

Simak juga: Polda Jawa Barat Usut Penyebar Hoaks Petugas KPPS Tewas Diracun

Kementerian Kesehatan juga telah menemukan 13 jenis penyakit penyebab meninggal petugas KPPS di 15 provinsi. Kementerian Kesehatan, dalam siaran persnya pada Ahad, 12 Mei 2019, menyebutkan 13 penyakit tersebut adalah infarct myocard, gagal jantung, koma hepatikum, stroke, respiratory failure, hipertensi emergency, meningitis, sepsis, asma, diabetes melitus, gagal ginjal, TBC, dan kegagalan multiorgan.

Advertising
Advertising

HALIDA BUNGA FISANDRA

Berita terkait

Pengamat: Proses Sidang Sengketa Pilpres di MK Membantu Redam Suhu Pemilu

1 jam lalu

Pengamat: Proses Sidang Sengketa Pilpres di MK Membantu Redam Suhu Pemilu

Ahli politik dan pemerintahan dari UGM, Abdul Gaffar Karim mengungkapkan sidang sengketa pilpres di MK membantu meredam suhu pemilu.

Baca Selengkapnya

Hakim MK Naik Pitam Komisioner KPU Absen di Sidang Pileg: Sejak Pilpres Enggak Serius

2 hari lalu

Hakim MK Naik Pitam Komisioner KPU Absen di Sidang Pileg: Sejak Pilpres Enggak Serius

Hakim MK Arief Hidayat menegur komisioner KPU yang tak hadir dalam sidang PHPU Pileg Panel III. Arief menilai KPU tak menganggap serius sidang itu.

Baca Selengkapnya

Said Iqbal Yakin Partai Buruh Masuk Senayan pada Pemilu 2029

3 hari lalu

Said Iqbal Yakin Partai Buruh Masuk Senayan pada Pemilu 2029

Presiden Partai Buruh Said Iqbal menyakini partainya masuk ke Senayan pada pemilu 2029 mendatang.

Baca Selengkapnya

Standard Chartered Perkiraan Pertumbuhan PDB Indonesia 2024 Menjadi 5,1 Persen

5 hari lalu

Standard Chartered Perkiraan Pertumbuhan PDB Indonesia 2024 Menjadi 5,1 Persen

Standard Chartered menurunkan perkiraan pertumbuhan produk domestik bruto atau PDB Indonesia tahun 2024 dari 5,2 persen menjadi 5,1 persen.

Baca Selengkapnya

CekFakta #257 Hoaks Deepfake Menipu Konsumen dan Mengancam Bisnis

8 hari lalu

CekFakta #257 Hoaks Deepfake Menipu Konsumen dan Mengancam Bisnis

Deepfake, kini semakin mudah dibuat dan semakin sulit dikenali. Dampak yang ditimbulkan oleh penipuan deepfake pun, tidak main-main.

Baca Selengkapnya

Sri Mulyani: Anggaran Pemilu 2024 Belum Terbelanjakan Rp 12 Triliun

8 hari lalu

Sri Mulyani: Anggaran Pemilu 2024 Belum Terbelanjakan Rp 12 Triliun

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan masih ada Rp 12,3 triliun anggaran Pemilu 2024 yang belum terbelanjakan.

Baca Selengkapnya

Junimart Minta Seleksi Petugas Badan Adhoc Pilkada Dilakukan Terbuka

8 hari lalu

Junimart Minta Seleksi Petugas Badan Adhoc Pilkada Dilakukan Terbuka

Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Junimart Girsang mengatakan, badan Adhoc Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), harus diseleksi lebih ketat dan terbuka untuk menghindari politik transaksional.

Baca Selengkapnya

Pakar Hukum Unand Beri Catatan Putusan MK, Termasuk Dissenting Opinion 3 Hakim Konstitusi

8 hari lalu

Pakar Hukum Unand Beri Catatan Putusan MK, Termasuk Dissenting Opinion 3 Hakim Konstitusi

Pakar Hukum Universitas Andalas atau Unand memberikan tanggapan soal putusan MK dan dissenting opinion.

Baca Selengkapnya

Tim Joe Biden akan Terus Gunakan TikTok untuk Kampanye Walau Dilarang DPR

9 hari lalu

Tim Joe Biden akan Terus Gunakan TikTok untuk Kampanye Walau Dilarang DPR

Tim kampanye Joe Biden berkata mereka tidak akan berhenti menggunakan TikTok, meski DPR AS baru mengesahkan RUU yang mungkin melarang penggunaan media sosial itu.

Baca Selengkapnya

Pemilu Rawan Politik Uang Kaesang Usulkan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup, Ini Bedanya dengan Proporsional Terbuka

13 hari lalu

Pemilu Rawan Politik Uang Kaesang Usulkan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup, Ini Bedanya dengan Proporsional Terbuka

Ketua Umum PSI yang juga putra Jokowi, Kaesang Pangarep usulkan pemilu selanjutnya dengan sistem proporsional tertutup karena marak politik uang.

Baca Selengkapnya