TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Fraksi Partai Hanura Syarifuddin Sudding menilai keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permintaan pemilihan umum serentak sebagai keputusan yang aneh. Pasalnya, ada jarak waktu antara vonis Mahkamah dan pemberlakuan pemilihan legislatif dan presiden serentak pada 2019.
"Dari sisi substansi, putusan itu kita apresiasi karena memang itu yang dikehendaki Undang-Undang Dasar. Tapi putusan itu aneh bin ajaib, karena berdasar Undang-Undang MK Pasal 47, putusan MK itu harusnya berlaku seketika saat diucapkan majelis hakim," ujarnya via telepon, Kamis, 23 Januari 2014.
Ia berpendapat putusan Mahkamah itu juga menimbulkan satu masalah baru. Yakni bagaimana dengan legitimasi pemilihan legislatif dan presiden tahun ini. Sebab, aturan tentang pemilihan dua tahap itu telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi.
Menurut Suding, Mahkamah diberi kewenangan sebagai legislator negatif atau menghapus undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Adapun legislator positif atau kewenangan membuat undang-undang ada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah.
Suding memperkirakan DPR periode berikut akan kembali merevisi Undang-Undang Pemilihan Umum sehingga proses verifikasi bagi partai-partai kecil bakal makin berat. Namun ia tak mau berandai-andai soal Pemilihan Umum 2019.
"Kita berkompetisi secara fair saja dulu untuk 2014. Hanura optimis," tuturnya.
Daftar Gugatan dalam Sengketa Pileg di MK Mulai Hari Ini, Pemohon Telah Siapkan Bukti dan Saksi
13 jam lalu
Daftar Gugatan dalam Sengketa Pileg di MK Mulai Hari Ini, Pemohon Telah Siapkan Bukti dan Saksi
Sengketa Pileg 2024 di MK tidak hanya sekadar proses hukum, tetapi juga merupakan cerminan dari dinamika politik dan demokrasi di Indonesia. Apa saja gugatannya?