TEMPO.CO, Jakarta - Motivasi berdirinya simpatisan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Jaringan Gusdurian adalah demi melanjutkan idealisme dan tindakan Presiden RI Keempat itu. Namun, seiring berjalannya waktu, kelompok ini dimanfaatkan untuk menenangkan kandidat dalam Pemilu karena jumlah suara mereka yang berbobot.
Gusdurian memang diperhitungkan dalam kancah kontestasi pemilihan presiden. Namun, sesungguhnya jaringan komunitas dan individu pengagum pemikiran Gus Dur ini merupakan kelompok yang netral dan tidak mau terlibat politik praktis. Lantas mengapa suara Gusdurian jadi rebutan kandidat dalam Pilpres?
Suara Gusdurian memang jadi rebutan. Pada Pilpres 2019 misalnya, Pengamat politik dari Lembaga Survei Indikator, Burhanuddin Muhtadi menilai, kalangan Gusdurian memiliki efek signifikan terhadap perolehan suara ketika itu. Lembaga Survei Indikator mendata pada September 2018, diperkirakan 41 persen muslim adalah Gusdurian, termasuk mereka yang menjadi anggota Nahdlatul Ulama atau NU.
Menurut Burhanuddin, 41 persen pemilih muslim bukan angka yang kecil. Hal itu pula yang membuat keluarga dan jaringan Gusdurian pun direbutkan oleh dua kubu calon presiden 2019, Joko Widodo maupun Prabowo Subianto saat itu. Bahkan keduanya menyempatkan berkunjung ke istri Gus Dur, Sinta Nuriyah dan keluarga Gus Dur di Ciganjeng. Tentu, tujuannya demi merogoh hati Gusdurian agar memilih mereka.
“Ini yang menjelaskan kenapa kedua tokoh ini silaturahmi ke Sinta Nuriyah dan keluarga di Ciganjur,” kata Burhanuddin di Kantor Indikator, Jakarta Pusat pada Rabu, 26 September 2018.
Menurut Burhanuddin, kantong suara Gusdurian beririsan dengan kantong NU. Wilayah yang menjadi pusat jaringan Gus Dur itu ialah Jawa Timur, disusul Jawa Tengah. Kemudian menyebar ke Jawa Barat, DKI Jakarta, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Utara. Banyaknya kantong suara Gus Dur, kata dia, disebabkan pemikiran presiden keempat itu punya pengaruh kepada minoritas.
Meski tak terjun langsung dalam politik praktis, saat pemilu Gusdurian memang bagaikan prajurit perang. Jika keluarga Gus Dur condong terhadap kandidat tertentu, mereka akan membuntutinya. Saat putri Gus Dur, Yenny Wahid menyatakan dukungannya kepada pasangan Jokowi dan Ma’ruf Amin di Pilpres 2019, misalnya. Gusdurian pun ramai-ramai mencondongkan preferensi mereka kepada paslon nomor urut 1 itu.
Fenomena ini diperkirakan juga terjadi lagi pada Pilpres 2024. Keluarga Gus Dur telah menyatakan dukungannya kepada pasangan usungan koalisi PDIP Ganjar-Mahfud MD. Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Adi Prayitno mengatakan suntikan dukungan dari keluarga Gus Dur itu sangat penting bagi Ganjar-Mahfud di Pilpres 2024. Apalagi dukungan itu disampaikan Yenny Wahid yang merupakan putri Gus Dur.
“Itu tak bisa dibantah. Tinggal diuji seberapa kuat saat jaringan Gusdurian itu di lapangan,” kata dia dalam keterangannya dalam pesan tertulis, Ahad, 28 Oktober 2023.
Bagaimanapun, fenomena ini tak bisa dipungkiri adalah praktik politik identitas. Adi Prayitno, mengatakan politik identitas adalah sebuah aktivitas politik mengajak orang lain memilih calon dalam Pemilu berdasarkan sentimen agama, suku, dan ras. Yenny Wahid memang tak mengajak Gusdurian maupun kalangan NU untuk memilih paslon tertentu. Tapi Yenny tentu tahu, dukungannya bisa menentukan arah preferensi mereka.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | TIKA AYU | FRISKI RIANA
Pilihan Editor: Terbentuknya Jaringan Gusdurian, Merawat Perjuangan dan Pemikiran Gus Dur