TEMPO.CO, Jakarta - Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden disingkat Pilpres 2024 semakin dekat waktu pelaksanaannya. Tinggal 105 hari lagi coblosan digelar di Indonesia.
Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden atau capres-cawapres pun sudah mendaftarkan dirinya masing-masing, mereka siap dengan barisan pendukung dibelakangnya. Tidak jarang terjadi saling sindir antarbarisan pendukung. Peristiwa itu berulang dari pemilu ke pemilu.
Bukan hanya saling sindir antarbarisan pendukung, tetapi ada fenomena lain yang sering terjadi dari pemilu ke pemilu. Fenomena tersebut adalah munculnya Golongan Putih disingkat Golput, yaitu mereka yang tidak menempatkan diri dalam barisan pendukung capres-cawapres mana pun. Bahkan mereka tidak memilih dalam apapun agenda pemilu.
Menelisik Golput
Tentu banyak sekali faktor yang menyebabkan seseorang menjadi Golput. Mulai dari kekecewaan terhadap pemerintah, bingung memilih pasangan capres--cawapres, sampai dengan tidak menganggap pemilu penting. Namun, hal unik dari fenomena ini adalah penamaannya. Mengapa harus golongan putih?
Dalam artikel yang berjudul Partai Kesebelas untuk Generasi Muda yang ditulis Ketua Ikatan Mahasiswa Kebayoran lmam Walujo Sumali dalam majalah Tempo edisi 19 Juni 1971, istilah Golput muncul. Sesuai dengan judulnya, dalam artikel tersebut muncul gagasan partai kesebelas untuk mereka yang tidak ingin memilih parpol atau Golkar pada Pemilu 1971.
Gagasan tersebut kemudian direalisasikan dengan memilih mencoblos area putih di antara gambar logo-logo parpol dan Golkar pada kertas suara. Lebih lanjut lagi, saat gagasan ini banyak didukung oleh aktivis dan tokoh lainnya, simbol Golput pun muncul. Simbol tersebut adalah segilima hitam dengan isi berwarna putih, tanpa gambar logo partai. Inilah asal muasal setiap orang yang tidak memilih dalam pemilu disebut Golput.
Golput sering kali disayangkan oleh pemerintah karena tidak tergunakannya hak suara seluruh warga negara. Begitu banyak agenda yang dilakukan oleh pemerintah untuk menekan angka Golput. Mulai dari sosialisasi langsung kepada masyarakat, sampai dengan membuat konten terkait pemilu di media sosial. Bahkan khusus pemilih muda--utamanya mahasiswa, terkadang Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyelenggarakan acara semacam KPU Goes To Campus untuk menyosialisasikan pemilu.
Nyatanya wacana Golput diduga tetap eksis, bahkan kemungkinan di Pilpres 2024. Hal tersebut menandakan banyak indikasi. Mulai dari masih adanya kekecewaan masyarakat terhadap sistem pemilu, ketidaksadaran politik masyarakat, sampai dengan kurangnya sosialisasi pemerintah terkait agenda-agenda pemilu.
M. ROBY SEPTIYAN | ANDITA RAHMA
Pilihan editor: Jokowi di Tengah Pusaran 3 Periode, Penundaan Pemilu hingga Calon Boneka