TEMPO.CO, Jakarta - International NGO Forum for Indonesian Development atau INFID mengkritik Komisi Pemilihan Umum atau KPU yang tak kunjung merevisi Peraturan KPU atau PKPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang minimal 30 persen kuota caleg perempuan. Direktur Eksekutif INFID, Iwan Misthohizzaman, meminta KPU tak mengajarkan ketidaktaatan publik lantaran mengabaikan Putusan Mahkamah Agung atau MA.
"Janganlah mengajarkan ketidaktaatan publik. Itu 'kan satu indikasi kuat melakukan ketidaktaatan atas putusan hakim. Itu jelas-jelas bukan perilaku negarawan yang baik," kata Iwan melalui sambungan telepon kepada Tempo, Sabtu, 23 September 2023.
Iwan menyatakan bahwa jika tak kunjung direvisi, Pasal 8 PKPU Nomor 10 Tahun 2023 akan menimbulkan banyak kerugian. Pasal itu berbunyi jika angka pecahan caleg perempuan di bawah lima, partai harus melakukan pembulatan desimal ke bawah. Banyak pihak mengkritik aturan tersebut berpotensi menyebabkan kuota caleg perempuan tidak mencapai 30 persen.
"Nah ini merugikan banyak hal. Beberapa poin adalah kesempatan perempuan untuk menjadi legislator itu mengecil. Kemudian kesempatan untuk dipilih itu juga mengecil. Kemudian peluang pemilih yang ingin memberikan dukungan kepada legislator perempuan itu juga mengecil," ujar Iwan.
Selain peluang keterwakilan perempuan yang mengecil, Iwan menyatakan minimnya partisipasi perempuan dalam parlemen berpotensi membuat produk hukum rentan mengabaikan perspektif gender. Hal itu, menurut Iwan, bertentangan dengan semangat affirmative action yang menjadi tujuan awal peraturan perundang-undangan tentang pemilu.
"Kita bisa bayangkan kalau lembaga legislatif yang akan menghasilkan perundang-undangan dengan jumlah anggota perempuan yang semakin sedikit. Kita bisa bayangkan produk hukum yang dibuat akan seberapa kestaraan gendernya dan perspektif perempuannya. Ini jelas bertentangan dengan semangat affirmative action yang ada di dalam tujuan awal undang-undang pemilu itu," kata Iwan.
Lebih lanjut, Iwan menyatakan pihaknya keberatan KPU melakukan pembulatan desimal ke bawah untuk angka pecahan caleg perempuan di bawah lima. "Pasal 245 itu kan menyebutkan 30 persen harus perempuan. Pasal 246 juga memberi penunjuk akurat bahwa satu dari tiga calon itu harus perempuan. Kemudian ini ditafsirkan pembulatan. Pembulatannya ke bawah, tidak ke atas," ujar Iwan.
Iwan menilai pembulatan ke bawah akan berdampak kepada wilayah-wilayah tertentu memiliki kuota empat atau tujuh kursi. Hal itu, menurut dia, berpotensi menimbulkan pelanggaran undang-undang yang menyebutkan caleg perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.
"Misalkan satu dapil ada empat kursi. Nah, kalau ngikutin peraturan ini, berarti harusnya dua, karena minimum itu 30 persen atau satu banding tiga. Jadi kalau masuk ke angka 4, otomatis dua perempuan, dua laki-laki. Dapil yang berjumlah tujuh kursi juga akan terdampak," kata Iwan.
Iwan menyatakan karena undang-undang mensyaratkan caleg perempuan sekurang-kurangnya 30 persen, jumlah caleg perempuan tidak boleh kurang dari itu, tetapi boleh lebih. "Cara membaca undang-undangnya 'kan harusnya begitu. Karena sekurang-kurangnya 30 persen, berarti nggak boleh kurang," ujar Iwan.
Sebelumnya, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan mengadukan KPU ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu pada Jumat, 22 September 2023. Koalisi itu terdiri dari Mikewati Vera Tangka, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia; Listyowati, Ketua Yayasan Kalyanamitra; Iwan Misthohizzaman, Direktur Eksekutif INFID; Wirdyaningsih, pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia; dan Hadar Nafis Gumay Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity.
HAN REVANDA PUTRA
Pilihan Editor: KPU Disebut Tidak Jalankan Putusan MA soal Aturan Keterwakilan Perempuan