Jokowi Akui 12 Peristiwa Pelanggaran HAM Berat

Senin, 16 Januari 2023 10:15 WIB

Iklan
image-banner

Jokowi mengakui terjadinya sejumlah peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu. Pengakuan itu dinilai tak cukup oleh sejumlah LSM.

Presiden Joko Widodo mengakui sejumlah peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang terjadi di masa lalu. “Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran HAM yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” ujar Jokowi. 

Berikut 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang diakui:

  1. Peristiwa 1965-1966
  2. Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985 
  3. Peristiwa Talangsari, Lampung 1989 
  4. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989 
  5. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998 
  6. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 
  7. Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999 
  8. Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999 
  9. Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999 
  10. Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002 
  11. Peristiwa Wamena, Papua 2003 
  12. Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003

Upaya pemulihan hak-hak korban
Presiden Jokowi menyampaikan bahwa pemerintah akan berusaha untuk memulihkan hak-hak korban pelanggaran HAM berat secara adil dan bijaksana tanpa meniadakan penyelesaian secara yudisial. 

Butuh tindakan konkret
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) menilai pengakuan pemerintah terhadap kasus pelanggaran HAM berat tidak bersifat substantif. Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti menyebut pernyataan Presiden Jokowi tersebut tidak ada artinya bila tidak ada tindak lanjut yang lebih konkret. Pasalnya, sudah berulang kali pemerintah membentuk tim khusus penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Namun, dia mengatakan tidak ada satu pun tim tersebut yang berhasil secara konkret mengungkap kasus-kasus pelanggaran HAM berat hingga tuntas.

Dianggap sekadar pernak-pernik janji kampanye
Direktur Eksekutif SETARA Institute Ismail Hasani menilai pernyataan Presiden Jokowi adanya 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu hanyalah aksesori politik pemerintahannya. Menurut Ismail, pengakuan tersebut hanya memberikan legitimasi penyelesaian kasus HAM berat tanpa menyentuh kepada akar permasalahan.

“SETARA Institute menyesalkan ketiadaan pengungkapan kebenaran secara spesifik perihal siapa-siapa aktor di balik 12 kasus yang telah dianalisis oleh Tim PPHAM,” ujar dia.

INGE KLARA | SUMBER DIOLAH TEMPO