TEMPO.CO , Jakarta: Pengamat politik dari Pol-Tracking Institute Arta Budi menyebutkan lima faktor penyebab efek Joko Widodo, calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI), tidak berpengaruh besar dalam pemilihan legislatif 2014. Berdasarkan sejumlah survei, PDIP hanya meraup sekitar 19 persen suara nasional.
Poin pertama, kata Arya, terdapat pada metodologi survei. Dalam survei, Arya menyatakan, masyarakat ditanyakan, "Jika Jokowi jadi presiden, partainya...," ujarnya kepada Tempo, Sabtu 12 April 2014. Namun dalam pemungutan suara, lanjutnya, tidak ada variabel Jokowi. "Baik verbal maupun tertulis."
Selain itu, Arya menambahkan, survei dilaksanakan beberapa minggu menjelang pemilihan legislatif. Saat itu, swing voters atau massa mengambang di Indonesia sekitar 70-80 persen. "20-30 persen tidak mempunyai kepentingan ke partai politik," ujar Arya. (Baca juga: 9 Kampanye Hitam Pengikis Suara PDI Perjuangan)
Poin kedua, Arya mengungkapkan, ambiguitas PDIP dalam mengumunkan Jokowi sebagai calon presiden. Soalnya, pendeklarasian mantan Wali Kota Surakarta, Jawa Tengah, itu dilakukan dua hari sebelum kampanye terbuka. "Ini menstimulasi Jokowi dilemahkan. Ini dari segi pencapresan," tutur Arya.
Arya melanjutkan, kondisi itu berbeda dengan Gerindra dan Golkar. Kendati Prabowo Subianto dan Aburizal Bakrie belum diumumkan sebagai capres, namun masyarakat sudah tahu kalau keduanya bakal maju dalam perebutan kursi nomor satu. "Sementara PDIP belum punya kejelasan capres," tutur Arya.
Di samping itu, Arya mengungkapkan, adanya dualisme di dalam tubuh PDIP. Di internal, Ketua Umum Megawati Soekarnoputri memiliki status quo. Namun, Jokowi sebagai emerging figure. Selain itu, pencapresan Jokowi disambut setengah hati. "Jadi secara internal dan eksternal bermasalah," ucap Arya. (Baca juga: Jokowi Bicara Efek Jokowi yang Tak Dongkrak PDIP)
Poin ketiga, gempuran yang dilancarkan sejumlah partai politik kepada Jokowi dan Megawati sebelum pemilihan legislatif. Salah bentuk gempuran terhadap Jokowi adalah sebutan presiden boneka. Jokowi dianggap hanya sebagai pelaksana mandat dari Megawati. "Serangan juga menyasar ke Megawati selama kepemimpinannya sebagai presiden soal aset-aset negara," ujar Arya.
Poin keempat, Arya meneruskan, mesin partai tidak berjalan dengan baik. Dalam mesin partai, Arya menyatakan, terdiri dari tiga komponen. Pertama kemampuan, termasuk strategi kampanye. "PDIP mempunyainya," kata Arya. Poin kedua adalah jaringan. Menurut Arya, PDIP kurang memiliki kedekatan dengan kalangan militer dan pengusaha.
Terakhir, Arya menjelaskan, kurangnya kontribusi para calon anggota legislatif. Mereka hanya mengandalkan nama besar Jokowi yang tiga minggu sebelum pemilihan legislatif memiliki elektabilitas di atas 30 persen. "Mereka cukup aman dengan memajang foto Jokowi," ujarnya.
Sementara poin kelima, menurut Arya, Jokowi belum juga memunculkan visi dan misi kebangsaan. Kondisi itu justru berbanding terbalik dengan Gerindra yang mengusung Enam Agenda Pokok, sedangkan Golkar, Negara Kesejahteraan 2045. "PDIP memunculkan slogan Indonesia hebat, tapi belum ada elaborasi. Indonesia hebat itu apa?" katanya. (Baca: Paloh Perkuat 'Serangan Udara' Jokowi Lewat Metro TV)
SINGGIH SOARES
Berita Lainnya:
Safari Politik, Jokowi Keliling Pakai Innova
Salami Muhaimin, Jokowi: Kawan Lama Ini
Duit beratribut PAN Dilimpahkan Polisi ke Panwaslu
KPU Jawa Tengah: Tinggal Satu Daerah Coblos Ulang