Heddy menuturkan para peserta Pilkada 2024 diperkirakan sudah berhubungan erat dengan anggota dan ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
“Mereka juga pasti punya kerabat-kerabat di tingkat kecamatan, kelurahan, bahkan KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara), dan itulah yang memungkinkan terjadi pelanggaran etik, bahkan pelanggaran administratif sampai pelanggaran pidana pemilu,” ujarnya.
Dia juga mengatakan residu kepemiluan yang berupa pengaduan dugaan pelanggaran etik penyelenggara pemilu yang seharusnya dapat diselesaikan di tingkat Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu), Bawaslu, atau belum diproses dan diadukan ke DKPP RI juga menjadi perhatian pihaknya.
“Ini adalah realitas kepemiluan kita, realitas penyelenggaraan pemilu kita. Kita bangga sukses menyelenggarakan pemilu, tetapi ternyata muncul beberapa pelanggaran etik yang jumlahnya besar,” ucapnya.
Karena itu, dia mengajak media membantu mewartakan setiap perkembangan tahapan Pilkada 2024 kepada masyarakat, sehingga masyarakat dapat mengadukan dugaan pelanggaran yang terjadi ke lembaga yang tepat, seperti DKPP atau Bawaslu.
“Bukan apa-apa, bukan DKPP menolak, tetapi beban besar ini tidak disertai pula dengan postur organisasi kelembagaan yang besar, itu masalahnya. Dengan jumlah pegawai cuma 126, bayangkan harus menangani 514 perkara. Di pengadilan mana yang bisa menangani itu?”
Pilihan editor: Pengamat Menilai Tiga Paslon Pilgub Jakarta Belum Bahas Dua Hal Krusial Ini