Tip Akademisi Cara Mendeteksi Lembaga Survei Abal-abal
Reporter
Ryan Dwiky Anggriawan
Editor
Tulus Wijanarko
Sabtu, 9 Maret 2019 13:15 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota dewan etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia atau Persepi, Hamdi Muluk, mengatakan pada musim pemilihan umum dan pemilihan presiden seperti sekarang ini ada beberapa pihak yang membuat lembaga survei abal-abal. Tujuannya, kata dia, untuk menggiring persepsi publik.
Berita terkait: Persepi Buka Rekam Jejak Pimpinan Indomatrik di Pemilu 2014
Menghadapi lembaga abal-abal itu, menurut Hamdi, ada beberapa tolok ukur yang dapat dipakai masyarakat untuk mendeteksi mereka. "Lihat apakah orang-orang yang terlibat disitu punya akademik background yang memadai," kata Hamdi saat mengisi diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu, 9/3.
Selain itu, menurut Hamdi, lembaga itu bisa dicek rekam jejaknya. "Apalagi, seperti Pemilu 2014, ada lembaga melakukan hitung cepat (quick count) saja salah total," tutur dia .
Menurut Hamdi, hitung cepat seharusnya tidak boleh salah, karena hanya menghitung sesuatu yang sudah terjadi, atau perilaku yang sudah terjadi. "Kalau jajak pendapat, kan, baru persepsi atau niat."
Ia lalu mengingatkan, pada 2014 lalu Persepi pernah mengeluarkan dua lembaga survei yang menjadi anggotanya. Alasannya, hasil quick count dua lembaga itu bertolak belakang dengan penghitungan resmi. Saat itu, dua lembaga tersebut mengunggulkan Prabowo Subianto sebagai pemenang.
"Harusnya orang-orang yang melakukan itu dan lembaganya jadi memori publik . Karena ini persoalan integritas. Dia melakukan itu untuk kelabui publik. Media harus mengingatkan itu kepada publik," ujar Hamdi Muluk.
Mengenai hasil sigi lembaga-lembaga survei pada saat pemilu, Hamdi menuturkan gal itu punya manfaat sosial-psikologi untuk masyarakat. Sebab secara sosial-psikologi, masyarakat selalu ingin tahu soal apa yang menjadi pilihannya.
"Orang ingin memvalidasi pendapat dia dengan kebanyakan orang, tentu membuat orang yang bersangkutan nyaman," kata Hamdi saat mengisi diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu, 9 Maret 2019.
Ia lalu menganalogikan kebutuhan akan hasil survei seperti seseorang yang hendak membeli suatu produk. "Misalnya, ketika saya mau beli gelas, saya nanya-nanya gelas yang bagus, engga, segala macem," ujar Hamdi.