TEMPO.CO, Jakarta - Hasil sigi Lembaga Survei Indonesia bersama International Foundation for Electoral Systems memperlihatkan pemilih sangat toleran terhadap praktek jual-beli suara. Hasil survei menunjukkan hanya sebagian kecil responden yang berani melaporkan jika ada praktek seperti itu.
"57 persen tidak melaporkan karena hal itu dianggap biasa," kata Direktur Riset IFES Rakesh Sharma saat pemaparan hasil survei di Jakarta, Selasa, 11 Februari 2014. Hanya 20 persen responden yang akan melaporkan jika ada praktek jual-beli suara.
Survei dilakukan pada 17-30 Desember 2013 terhadap 1.890 responden di seluruh provinsi secara proporsional. Oversampling dilakukan di Aceh, Maluku, Papua, dan Papua Barat. LSI melakukan pembobotan data berdasarkan usia, wilayah, dan jenis kelamin agar bisa dijadikan sebagai pendapat umum masyarakat.
Hasil survei juga menunjukkan 84 persen responden mengaku tak pernah melihat ada politik uang. Direktur Riset LSI Hendro Prasetyo meragukan jawaban responden mengenai politik uang. Menurut dia, meskipun pernah mengalami politik uang, masyarakat tak akan bersedia menjawab jujur.
Dia memahami masyarakat yang enggan melapor ketika menemukan praktek jual-beli suara. Menurut dia, tidak semua masyarakat berani dan punya kemauan berhadapan dengan aparat. Publik, kata dia, masih mempertimbangkan aspek untung-rugi jika melihat ada praktek kecurangan.
Catatan Perolehan Suara Peserta Pemilu Pasca Reformasi, Siapa Jawaranya?
19 Februari 2024
Catatan Perolehan Suara Peserta Pemilu Pasca Reformasi, Siapa Jawaranya?
Pelaksanaan pemilu dalam era reformasi telah dilakukan enam kali, yaitu Pemilu 1999, Pemilu 2004, Pemilu 2009, Pemilu 2014, Pemilu 2019 dan Pemilu 2024.