TEMPO.CO, Jakarta - Nadea Lazuardani Zahra, caleg muda Partai Berkarya, merasa kabut yang muncul akibat polarisasi politik pada kontestasi Pilkada DKI Jakarta 2017 mengaburkan pandangan masyarakat akan politik. Sebaliknya rasa toleransi malah terus menipis. Hal itu ditangkap Nadea menjadi salah satu polemik di Indonesia yang tahun ini merayakan HUT kemerdekaan ke-73.
Baca: Tak Repot Kampanye Caleg, Ahmad Dhani: Saya kan Sudah Terkenal
Nadea merupakan putri mantan Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso, yang kini sedang menyusuri langkah sang ayah di Senayan. Ia mengambil langkah pertamanya terjun ke dunia politik lewat panggung legislatif di usianya yang tergolong muda, baru akan menginjak usia 24 September nanti.
Setelah lulus dari sekolah bisnis di Boston University, Amerika Serikat, Nadea tak tergoda untuk memperpanjang masa tinggalnya. Ia bergegas pulang ke Indonesia dengan membawa bekal pengalaman dan pengamatannya atas sistem demokrasi di negeri Abang Sam.
“Aku pulang dan berusaha bagaimana caranya membangun bangsaku sendiri. Indonesia itu punya peluang besar untuk jadi develop country,” tutur Nadea saat ditemui Tempo di bilangan Cipete, Jakarta Selatan, Sabtu, 11 Agustus 2018.
Meski begitu ia mengatakan langkah Indonesia dapat tersendat bila dalam perjalanannya politik dan agama dibiarkan saling tunggang, seperti yang terjadi saat ini. Karena itu, salah satu misinya dalam berpolitik untuk menyuarakan kesadaran toleransi, “di sini (Indonesia) sepertinya mudah sekali tersulut emosi. Kita satu Indonesia tidak usah digembar-gemborkan,” kata Nadea.
Baca: Jadi Caleg, Karir Tak Berkembang?Tilik Penjelasan Tora Sudiro
Nadea yang mengaku senang membaca buku, juga kerap mengutip tokoh-tokoh idolanya. Dia mengutip pesan Presiden ke-2, Soeharto. “Harus mengedepankan kebaikan orang, dan pendamlah keburukannya,” kata Nadea sambil terus mencoba mengingat, “jadi intinya kita husnudzon,” yang berarti harus berprasangka baik.
“Peaceful Indonesia,” menjadi gagasan Nadea apabila terpilih menjadi anggota legislatif nanti. Dia ingin mempromosikan Indonesia sebagai negara yang damai, punya rasa toleransi tinggi, meskipun terdiri dari berbagai macam agama dan suku.
Ia mengaku sudah terbiasa menyuarakan gagasan seperti ini. Saat berkuliah, Nadea tertarik dengan isu sensitif yang kerap menimbulkan perpecahan di sana, yaitu rasisme. Saking kuatnya isu ini di Amerika, menjadikan ia merasa perlu membuat kampanye antirasisme melalui mainan anak.
Ide ini pertama kali muncul saat ia ditugasi membuat sebuah proyek bisnis dalam salah satu mata kuliahnya. “Ide saya dan teman-teman ditugaskan untuk membuat sebuah produk yang belum ada di dunia. Karena di Amerika isu rasisme sangat besar, kami memutuskan untuk membuat mainan anak yang mengedukasi,” tuturnya.
Meskipun proyek ini akhirnya tak lebih dari tahap prototipe, namun semangat Nadea membawa pesan persatuan dalam keberagaman ingin terus diproduksi. “Semua harus sadar akan kekayaan ras, dan kenal bahwa banyak agama, serta warna kulit di dunia ini,” ujarnya.
FIKRI ARIGI