TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Menteri Agama Suryadharma Ali sebagai tersangka kasus korupsi penyelenggaraan ibadah haji 2012-2013. Dugaan korupsi penyelenggaraan haji ini berkaitan dengan Biaya Perjalanan Ibadah Haji, pemondokan, dan pengadaan transportasi.
Menurut Indonesian Corruption Watch, ada tiga titik rawan korupsi dalam penyelenggaraan ibadah haji. "Pertama, di setoran awal calon jemaah," kata koordinator ICW, Ade Irawan, saat dihubungi, Kamis malam, 21 Mei 2014.
Kementerian Agama, kata dia, membuka pendaftaraan calon jemaah sepanjang tahun dengan rata-rata 200 ribu orang yang menunaikan haji per tahun. Mereka masing-masing membayar ongkos minimal Rp 35 juta. "Uang yang terkumpul sangat banyak, belum termasuk bunga dari setoran awal calon jemaah yang kini antreannya sudah mencapai tiga juta orang," katanya.
ICW mencatat dalam beberapa tahun bunga penempatan setoran di banyak bank itu di bawah nilai pasar yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Menurut dia, ini berpotensi menguntungkan bank ataupun Kementerian Agama.
Belum lagi proses penyusunan dan pengelolaan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH), yakni sejumlah dana yang dibayarkan oleh calon jemaah haji. Besaran BPIH ini ditetapkan oleh presiden atas usul menteri setelah mendapat persetujuan DPR. Menurut dia, proses penentuan besaran BPIH yang ditetapkan oleh Kementerian Agama dan DPR ini membuka peluang terjadinya kongkalingkong antara dua lembaga tersebut. "Memungkinkan adanya manipulasi penentuan biaya, seperti muncul komponen tambahan yang tidak perlu atau harga yang ditetapkan terlalu mahal," kata dia.
Menurut Ade, organisasinya menemukan dugaan pemberian gratifikasi dari Kementerian Agama kepada banyak anggota Dewan Perwakilan Rakyat. "Mereka diberi fasilitas gratis ke Arab Saudi. Uang sakunya, pemondokannya," ujarnya. Salah satu penerima gratifikasi tersebut adalah Anggota Komisi Agama DPR nonaktif Zulkarnaen Djabar yang kini mendekam dalam tahanan lantaran dinilai terbukti korupsi pengadaan Al-Quran.
Titik rawan kedua, menurut ICW, adalah kontrak pengadaan keperluan jemaah. Secara umum, semua pelayanan jemaah ini dikelompokkan menjadi tiga kegiatan besar, yakni biaya penerbangan, katering, dan pemondokan. Proses pengadaan umumnya dilakukan secara tertutup sehingga terbuka potensi penyimpangan.
Berdasarkan laporan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan penyelenggaraan ibadah haji tahun 2006 ditemukan beberapa dugaan penyimpangan. Di antaranya inefisiensi pemondokan Rp 12,856 miliar, kerugian negara dalam pengadaan obat dan alat kesehatan sebesar Rp 8 miliar, serta kemahalan dalam komponen penerbangan senilai Rp 58,5 miliar.
Adapun titik rawan ketiga menyangkut pengelolaan dana abadi umat (DAU). Ade mengatakan DAU justru banyak digunakan untuk kegiatan di luar tujuan utamanya. Hasil audit BPK semester II tahun 2007 atas laporan BP DAU tahun 2005 memperlihatkan bahwa pengeluaran untuk anggota badan pengelola jauh lebih besar dibandingkan dengan membantu meningkatkan kemaslahatan umat.
Hal itu, kata Ade, senada dengan temuan Indonesia Corruption Watch. DAU banyak digunakan untuk "mengongkosi" badan pengelola, termasuk menteri agama. Misalnya, tunjangan bulanan, tunjangan hari raya, open house dan perjalanan dinas menteri agama, sumbangan pengobatan pejabat tertentu, serta pemberian pinjaman kepada beberapa penyelenggara ONH Plus.
NUR ALFIYAH
Berita lain:
Ini Pemain Incaran Van Gaal di MU
Pimpinan KPK Batalkan Rapat Bahas Abraham Samad
Anggun Siap Tampil di World Music Awards 2014