TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Riset Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan, larangan partai berkampanye di media massa diharapkan bisa menghindari polemik antara media massa dengan politikus. “Intinya memberi kesempatan yang sama bagi partai yang pimpinannya bukan pemilik media massa,” katanya ketika dihubungi Tempo, Kamis, 17 Januari 2013.
Larangan itu menurut dia, berguna untuk mencegah partai politik yang hendak mencuri start kampanye. Apalagi bagi media yang memiliki relasi dengan politikus. Menurut Yunarto, aturan lain yang harus diterapkan penyelenggara pemilu adalah waktu penempatan kampanye.
“Misalnya di televisi tidak boleh berkampanye lebih dari sepuluh kali per hari,” ucapnya. Dikatakan olehnya, aturan ini juga harus dipatuhi oleh partai politik yang pimpinannya memiliki media massa. “Persaingan boleh-boleh saja, tetapi harus dibatasi,” ujar Yunarto.
Sejak 7 Januari partai peserta Pemilu diizinkan berkampanye. Partai diperkenankan mengadakan pertemuan tatap muka dan rapat di ruang terbatas, termasuk menjelaskan visi, misi, dan program partai melalui jejaring sosial. Namun Komisi Pemilihan Umum melarang partai berkampanye di media massa dan rapat terbuka. Kampanye di media massa baru diizinakn 21 hari sebelum masa tenang, atau sekitar sebulan sebelum pencoblosan.
Saat ini, paling tidak ada tiga grup media penyiaran yang dimiliki tokoh politik. Grup media itu yakni Grup Viva milik Aburizal Bakrie yang membawahkan ANTV dan TV One. Ada juga grup Media Nusantara Citra miliki Hary Tanoesoedibjo yang memiliki RCTI, Global TV, dan MNC TV. Serta grup Metro TV milik Surya Paloh. Hary dan Surya Paloh adalah pentolan Nasional Demokrat.
SATWIKA MOVEMENTI