TEMPO.CO, Jakarta - Pemilihan presiden tahun ini lebih panas dibanding pemilihan sebelumnya. Para pendukung setiap pasangan saling debat hingga hujat di berbagai media sosial. Bila para pendukung itu tidak menerima perbedaan secara bijaksana, maka kondisi tersebut berpotensi meretakkan hubungan pertemanan bahkan kekeluargaan.
"Masing-masing mempertahankan dan membela capres yang didukung, saling ngotot, dan mempertahankan pendapat masing-masing," kata psikolog Ratih Ibrahim kepada Tempo, Senin, 21 Juli 2014.
Menurut Ratih, tidak semua orang bisa secara dewasa menerima perbedaan. Apalagi bila perbedaan itu dibumbui oleh sikap saling menjelekkan dan menghujat. Yang lebih berbahaya, Ratih melanjutkan, bila konflik yang dipicu perbedaan sikap politik itu dibawa ke ranah rumah tangga.
"Capres sangat bisa memicu perpisahan," katanya. Apalagi bila hubungan rumah tangga pasangan itu kurang harmonis. (Baca: Hatta Rajasa Siap Ucapkan Selamat pada Jokowi)
Ratih berharap para pendukung pasangan calon tidak terlalu fanatik apalagi saling hujat. Ia juga berharap perbedaan pilihan itu bisa selesai setelah Selasa, 22 Juli 2014, nanti Komisi Pemilihan Umum mengumumkan pasangan pemenang pemilihan presiden.
"Ada yang bisa mereda, ada pula yang masih melanjutkan perbedaan pendapatnya, kembali pada kedewasaan masing-masing," kata Ratih (Baca: Cara Tim JK Merayakan Kemenangan)
RINA ATMASARI
Terpopuler
KPK Diminta Selidiki Peran Ketua PN Karawang
Kasus Karawang, KPK Didesak Usut Agung Podomoro
Sidang Anas Urbaningrum Hadirkan Tujuh Saksi
Polri Siapkan 22.500 Aparat Amankan Pleno KPU