TEMPO.CO, Surabaya - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mensinyalir 20 persen penduduk Indonesia tidak bisa menggunakan hak pilih pada pemilu presiden 9 Juli lalu. "Sekitar 15-20 persen penduduk Indonesia terutama yang rentan tidak terakomodasi hak konstitusionalnya," kata komisioner Komnas HAM, Nur Khoiron, kepada Tempo, Jumat, 11 Juli 2014.
Sewaktu pelaksanaan pemilu legislatif, Komnas HAM melakukan pemantauan intensif ke kelompok-kelompok rentan. Yaitu difabel atau penyandang cacat, pasien di rumah sakit, tenaga medis, tahanan kepolisian dan lembaga pemasyarakatan, masyarakat adat di perbatasan, mahasiswa, pengungsi Syiah, dan pengungsi Lapindo yang masih menggunakan kartu tanda penduduk.
Pada pemilu presiden kali ini, Komnas HAM juga menyebar relawannya di Jawa Timur. Temuan yang paling mencolok adalah lebih dari 90 persen masyarakat di rumah sakit tidak terakomodasi dalam pemilu. Musababnya, mekanisme yang diatur Komisi Pemilihan Umum menganjurkan agar pasien dan keluarga di rumah sakit bisa menyalurkan hak pilih mereka di tempat pemungutan suara terdekat.
"Tapi ternyata tidak terdapat bimtek (bimbingan teknis) sosialisasi yang jelas, mekanisme penyalurannya seperti apa," kata Nur.
Faktanya, ketika hendak mencoblos, mereka ternyata tidak kebagian surat suara karena telah habis. Padahal, di RSUD Dr Soetomo, misalnya, ada 1.400 pasien yang ingin mencoblos. "Waktu relawan kita mantau ke sana, pasien dan keluarga banyak yang marah karena tidak dapat memilih," katanya.
Komnas HAM melihat mekanisme daftar pemilihan khusus, daftar pemilih tambahan ataupun surat pindah pilih (A5) tidak bisa dijalankan secara optimal karena keterbatasan pemahaman. Sosialisasi KPU pun dianggap kurang. Nur juga memandang banyaknya aturan KPU yang menyulitkan pelaksanaan di lapangan. Misalnya kelompok tunanetra yang tidak mendapat Braille template.
Aturan yang dibuat KPU, kata Nur, terlalu bersifat nasional dan cenderung seragam. Menurut Nur, sosialisasi hingga pemutakhiran data dilakukan KPU secara amburadul. Karena itu, Komnas HAM meminta KPU mengubah aturan dengan prosedur operasi standar yang jelas dan bisa diakses oleh seluruh warga negara dengan latar berlakang berbeda.
Meski tidak bisa memberikan rekomendasi, Komnas HAM berharap KPU bisa menjadikan masukan dari Komnas HAM sebagai pembelajaran agar pelaksanaan pemilu dari tahun ke tahun mengalami perbaikan.
AGITA SUKMA LISTYANTI
Berita Lain
Dukungan Habib Lutfi Tak Dongkrak Suara Prabowo
Serangan Israel ke Palestina, Dunia Terbelah
Politikus Golkar Ini Cari Dukungan Gulingkan Ical