TEMPO.CO, Jakarta - Fotografer senior Tempo, Mahanizar Djohan, mengaku bangga ketika Tempo melawan pemberedelan oleh Orde Baru pada 21 Juni 1994. Ijal--begitu dia disapa--baru lima tahun bekerja di Tempo ketika bergabung dengan seniman dan aktivis untuk melawan represi tersebut.
"Selama Orde Baru banyak media yang diberedel tapi enggak ada yang melawan. Kami melawan," kata Ijal pada Sabtu, 21 Juni 2014. Perlawanan itu, menurut Ijal, tak berhenti dengan demonstrasi saja. Kasus pemberedelan lantas dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan Tempo dimenangkan oleh hakim. Dalam sidang banding, gugatan Tempo juga menang, tapi kandas di tingkat kasasi.
Salah satu pendiri Tempo, Goenawan Mohamad, mengatakan putusan pahit itu sudah diperkirakan bakal terjadi. "Itu kami sudah tahu. Jangan lupa, semua hakim agung diangkat oleh Soeharto," ujarnya.
Ijal bercerita, pertama kali mendapat kabar Tempo diberedel, dia sedang berada di rumah pacarnya. Ketika itu, Ijal memang sedang merancang persiapan pernikahannya. Di layar televsisi, dia melihat Menteri Penerangan Harmoko mengumumkan penutupan majalah Tempo, majalah Editor, dan tabloid Detik. "Langsung balik ke kantor di Kuningan, Jakarta Selatan." (Baca: Usai Diberedel, Keluarga Prabowo Ingin Beli Tempo)
Keesokan harinya, ujar Ijal, demonstrasi menolak pemberedelan dilakukan di depan kantor Departemen Penerangan, Jakarta. Barisan massa mengenakan kaus bertuliskan "I Love Tempo". Penggunaan kaus tersebut dimaksudkan agar tak ada penyusup. Pendemo adalah gabungan dari orang-orang Tempo beserta aktivis dan seniman.
Beberapa hari kemudian, awak Tempo menerima kabar dari direksi bahwa Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo Subianto--yang saat itu menantu Presiden Soeharto, ingin membeli Tempo. Dia sekaligus akan menempatkan orang-orangnya agar Tempo bisa terbit lagi. Namun direksi menolaknya. "Kami memilih tutup saja," kata Ijal.
Menurut dia, sebagian awak Tempo juga menolak bergabung dengan majalah Gatra, yang didirikan kroni-kroni Soeharto. Sebagian lainnya membuat perusahaan media nonberita di Tebet, Jakarta Selatan. Di situ mereka mengerjakan katalog, company profile, dan segala macam orderan media. "Awak Tempo sempat dikontrak mengerjakan Media Indonesia Minggu milik Surya Paloh," tutur Ijal.
Goenawan ingat, saat menolak akuisisi Hashim dan pindah ke Gatra, para awak Tempo sudah siap menganggur. Apalagi Tempo, juga Editor dan Detik, yang tetap melawan tak diterima kerja di media mana pun, kecuali mau bergabung dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). "Kami siap-siap nganggur saja." Tekanan itu kemudian melahirkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Wartawan senior Tempo yang saat pemberedelan menjadi Kepala Biro Tempo Surabaya, Toriq Hadad, mengatakan sebagian awak Tempo bekerja di beberapa media, seperti Forum, Sinar Pagi Minggu, dan Neraca. Beruntung, Tempo masih menggaji awaknya hingga November 1994, kendati sudah diberedel sejak 21 Juni 1994.
“Teman-teman yang sudah bekerja di media lain menyumbang separuh penghasilan untuk teman-teman di Tebet karena belum ramai orderan," kata Toriq, yang kini menjabat Direktur Produksi PT Tempo Inti Media Tbk. (Baca: Prabowo-Hatta Diminta Tanggapi Obor Rakyat)
Empat tahun kemudian, tepatnya 21 Mei 1998, Soeharto lengser. Goenawan mengaku tak menyangka Soeharto bakal lengser secepat itu. Awak Tempo sudah membayangkan majalah berita mingguan itu bakal tutup selamanya. Apalagi, ketika itu, Soeharto terlihat sedang kuat-kuatnya dan diprediksi masih akan berkuasa 20 tahun lagi.
Uu Suhardi, Redaktur Bahasa Tempo, masih berusia 30 tahun ketika Tempo diberedel. Dia juga masih bujangan dan baru saja diangkat menjadi karyawan. Menurut dia, secara ekonomi, awak Tempo tidak susah-susah amat karena perusahaan dalam kondisi sejahtera ketika diberedel.
Namun persoalannya bukan melulu ekonomi. Kebebasan berpendapat mesti dilindungi. Maka, ujar Uu, momen pemilihan presiden 2014 mesti dimanfaatkan masyarakat untuk memilih pemimpin yang demokratis. “Kalau presidennya 'galak', bisa bahaya,” tuturnya. (Baca: Goenawan Mohamad: Kita Takut Orde Baru Lahir Lagi)
KHAIRUL ANAM | JOBPIE SUGIHARTO
Berita Terpopuler:
BPK Temukan Potensi Kerugian DKI Rp 1,54 Triliun
Intuisi Indigo Ungkap Kelemahan Prabowo. Apa itu?
Temuan BPK, Ahok: Ada Pencairan ke Rekening Pejabat
Kata Astrolog, Jokowi Jadi Presiden pada 9 Juli