TEMPO.CO, Jakarta - Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia atau KMHDI meragukan independensi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam penyelenggaraan Pemilu 2024. Mereka menilai hal tersebut dari tidak konsistennya lembaga tersebut dalam menyikapi soal perhitungan keterwakilan perempuan.
Ketua Presidium PP KMHDI, I Putu Yoga Saputra mengatakan, KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebelumnya bersepakat untuk melakukan revisi terhadap PKPU 10/2023, khususnya pada Pasal 8 ayat (2) soal perhitungan syarat keterwakilan perempuan. Namun kesepakatan itu berubah saat mereka menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi II DPR RI dan Kementerian Dalam Negeri pada 17 Mei 2023.
“Tentu sikap yang ditunjukkan oleh KPU, Bawaslu, dan DKPP sangat membingungkan dan menjadi pertanyaan oleh seluruh pihak. Lewat peristiwa ini kita dapat mempertanyakan kemandirian dari KPU dalam menyelenggarakan Pemilu mendatang,” kata Yoga dalam keterangannya, Kamis 1 Juni 2023.
Kisruh soal keterwakilan perempuan
Masalah perhitungan syarat keterwakilan perempuan sebelumnya mendapatkan protes dari berbagai lembaga swadaya masyarakat. Mereka menilai Pasal 8 PKPU Nomor 10 Tahun 2023 bisa melanggar Pasal 245 Undang-Undang Pemilu yang menitahkan setiap partai politik memasukkan minimal 30 persen dalam daftar calon anggota legislatif.
Yang menjadi masalah, Pasal 8 PKPU Nomor 10 Tahun 2023 menyebutkan jika perhitungan 30 persen jumlah bakal Caleg Perempuan di setiap daerah pemilihan menghasilkan angka pecahan, maka apabila dua tempat desimal yang nilainya kurang dari lima puluh, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah. Dengan demikian, keterwakilan perempuan di sejumlah dapil dinilai tak bisa mencapai 30 persen.
Desakan dari berbagai pihak itu kemudian membuat DKPP memerintahkan KPU untuk melakukan perubahan. KPU pun akhirnya menyatakan mengubah pasal tersebut dengan memberlakukan pembulatan ke atas.
Perubahan PKPU dianulir dalam RDP
Yoga menjelaskan, perubahan tersebut kemudian dianulir dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar Komisi II DPR RI, Bawaslu, KPU, DKPP, dan Kemendagri di Gedung DPR/MPR Senayan, Jakarta pada Rabu, 17 Mei 2023. Dalam rapat itu disepakati bahwa Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tidak perlu diubah.
"Penggunaan rumus pembulatan ke bawah akan berdampak pada jumlah keterwakilan perempuan di parlemen pada Pemilu 2024 mendatang," kaya Yoga. "Sangat disayangkan semangat untuk menghadirkan perempuan lebih banyak di parlemen dipatahkan oleh regulator itu sendiri.”
KMHDI sebagai organisasi yang juga terdaftar sebagai Pemantau Pemilu pun mendorong agar PKPU 10/2023 dilakukan pengujian ke Mahkamah Agung, mengingat dalam RDP oleh Komisi II DPR, Bawaslu, KPU, DKPP, dan Kemendagri sepakat tidak melakukan perubahan terhadap peraturan tersebut.
Mengutip laman resmi DPR, Ketua Komisi II Ahmad Doli Kurnia Tandjung, memang menyatakan kesimpulan RDP tersebut meminta agar KPU tak mengubah PKPU tersebut. Pasalnya, menurut dia, seluruh partai politik peserta Pemilu 2024 telah mengajukan daftar caleg dengan jumlah perempuan lebih dari 30 persen seperti ketentuan Pasal 245 UU Pemilu.
”Saya barusan dikirim tadi data dari teman-teman komisioner, data dari jumlah bakal calon legislatif perempuan dari seluruh partai itu kalau ditotal (dirata-rata) itu jumlahnya 37,6%. Ini sudah jauh diatas 30%. Artinya PKPU ini tidak membuat masalah baru atau tidak memunculkan kekhawatiran,” kata politikus Partai Golkar itu.
ADE RIDWAN YANDWIPUTRA