TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat politik asal Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, menilai kerja pemerintah akan lamban apabila koalisi partai politik pemerintah terlampau gendut. Fungsi kontrol bagi partai oposisi di parlemen pun ia prediksi akan mengalami kelumpuhan.
Baca juga: Didesak Bubarkan Koalisi, Kubu Jokowi Terbayang Setgab
"Pemerintahan berjalan lamban karena begitu banyak kompromi politik di dalamnya," ujar Adi yang juga Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia ini saat dihubungi Ahad 23 Juni 2019.
Kubu calon presiden inkumben Joko Widodo atau Jokowi dikabarkan membuka lebar peluang koalisi dengan Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat. Pertemuan Jokowi dengan Komandan Komando Tugas Bersama atau Kogasma Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional, Zulkifli Hasan, disebut-sebut sebagai langkah awal penjajakan koalisi.
Dari Partai Demokrat sinyal ini pertama kali menguat saat Jokowi bertemu dengan AHY di Istana Merdeka pada 2 Mei lalu. Wakil Ketua Umum Demokrat Syarief Hasan membeberkan, Agus menawarkan 14 program Demokrat saat bertemu Jokowi.
Serupa Demokrat, PAN juga memberi sinyal kemungkinan merapat dengan koalisi pemerintahan pasca pertemuan Zulkifli Hasan dengan Jokowi pada 24 April lalu. Wakil Ketua Umum PAN Bara Hasibuan menyebut, kontrak politik partainya untuk mendukung Prabowo-Sandi dalam koalisi Adil Makmur, hanya sampai pemilihan presiden 2019. Setelah itu, PAN memiliki kedaulatan menentukan arah koalisi.
Belakangan di kalangan internal Gerindra muncul istilah "212". Tiga narasumber yang ditemui terpisah di partai itu mengatakan kiasan tersebut berasal dari tawaran jabatan dari kubu Jokowi. Dua-satu-dua berarti dua kursi menteri, satu kursi Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan dua jabatan di Dewan Pertimbangan Presiden.
Andre Rosiade, yang duduk di Badan Komunikasi Gerindra, mendengar ada tawaran posisi menteri, pemimpin komisi di DPR, dan pemimpin MPR untuk partainya dari kubu Jokowi. "Pak Prabowo dan petinggi Gerindra juga mengetahui informasi ini," kata Andre dikutip dari Majalah Tempo edisi 24 Juni - 30 Juni 2019.
Adi menilai merapatnya partai-partai oposisi ke pemerintah itu bukan hal yang aneh di Negara berazas presidensialisme multipartai. Kata dia, dalam azas demikian persaingan antar kubu bukan didasarkan pada perbedaan ideologi partai yang ekstrem, tapi didasarkan karena perbedaan pilihan politik sesaat.
"Efeknya, antar kubu hanya sengit bersaing jelang pilpres. Tapi setelah Pilpres usai semua merapat ke pemenang. Itu terjadi sejak pilpres 2004 hingga saat ini," ujar dia.
Ia mewanti-wanti, jika partai lawan merapat ke pemenang maka yang terkena dampaknya adalah fungsi kontrol di parlemen. "Karena bisa dipastikan check and balance bakal lumpuh total," kata dia.
FIKRI ARIGI | DEWI NURITA | MAJALAH TEMPO