TEMPO.CO, Malang - Salah satu keluarga anggota Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal saat bertugas di Pemilihan Umum atau Pemilu 2019 mengecam penyebar hoaks yang menyangkut-pautkan kematian para petugas karena diracun.
Baca: Cerita KPPS Kabur dan Mundur di Balik Pleno KPU DKI yang Molor
“Kami sudah ikhlas, jadi enggak usah bongkar-bongkar (makam) karena enggak berguna kecuali hanya menambah beban mental dan pikiran kami,” kata Sujatwati, istri Sunaryo Andrianto, ketua KPPS di RT 05/RW 02 Dusun Kepatihan, Desa Kepatihan, Kecamatan Tirtoyudo, Malang kepada Tempo pada Senin, 20 Mei 2019.
Sujatwati meminta kepada siapapun agar kematian suaminya jangan disangkut-pautkan dengan politik pemilihan presiden. Sujatwati dan keluarga sudah mengikhlaskan kematian Sunaryo sebagai takdir. Sunaryo meninggal di Ruang ICU Rumah Sakit Umum Daerah dr Sjaiful Anwar alias RSSA pada Sabtu, 13 April 2019.
Sujatwati mengatakan sang suami punya kebiasaan buruk. Pria 57 tahun itu merupakan perokok berat dan kecanduan kopi kental. Bapak tiga anak ini, kata Sujatwati, bahkan lebih memilih minum kopi kental ketimbang air putih.
Sang istri sudah sering meminta pria kelahiran 25 Oktober 1962 itu berhenti merokok. Tapi sang suami selalu santai menjawab bahwa dirinya orang yang sangat sehat dan kuat sehingga penyakit takut padanya. Pria bertubuh tinggi besar ini memang berpembawaan ceria dan doyan bercanda.
Baca: Sempat Pulih, Petugas KPPS di Klender Sakit Lagi
“Bapak itu sukanya kerja terus dan sibuk mengurusi keperluan orang lain di kantor desa maupun di sekolahan. Bapak enggak pernah mikirin diri sendiri. Kesehatannya gimana juga tidak dipikirin, yang penting kerjaan beres dan orang-orang senang dibantunya,” ujar Sujatwati.
Volume kesibukan Sunaryo melonjak dalam setahun terakhir, terlebih-lebih saat ia dipercaya menjadi Ketua Panitia Pemungutan Suara (PPS) Kepatihan. Tapi Sunaryo tetap saja bersemangat dan ceria. Sunaryo pantang mengeluhkan pekerjaan maupun membawa masalah pekerjaan ke rumah karena rumah tempat beristirahat. Toh, balai desa hanya terpaut jarak sekitar 50 meter dari rumahnya. Pokoknya, pekerjaan harus beres di luar rumah.
Hingga suatu saat Sunaryo terpaksa harus dibawa ke Puskesmas Tirtoyudo untuk diperiksa pada Oktober 2018. Sunaryo sempat buang air besar campur darah. Ia mengira mengalami ambeien atau wasir, tapi petugas kesehatan mengatakan ia mengalami infeksi saluran kencing gara-gara kecapekan.
Kurang dari sepekan Sunaryo merasa sehat lagi. Pendiri sekaligus guru di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Fathul Ulum kembali bekerja dan bahkan lebih sibuk dari biasanya. Kesibukan membuat Sunaryo mengabaikan kesehatan sampai suatu hari ia terpaksa dibawa ke Rumah Sakit Ben Mari yang beralamat di Jalan Raya Kendalpayak, Desa Kendalpayak, Kecamatan Pakisaji—sekitar 25 kilometer dari Kepatihan. Namun, rumah sakit tidak bisa memastikan penyakit yang diderita Sunaryo.
Baca: Layat KPPS Meninggal, Sandiaga Disambut Poster Wakil Presiden
Keluarga tak puas. Dua hari kemudian, keluarga kemudian membawa Sunaryo ke RSSA di Kota Malang. Total, tiga kali Sunaryo dibawa ke RSSA. Nah, kunjungan ketiga mengharuskan Sunaryo dirawat inap di Ruang ICU. Hasilnya, tim dokter memvonis Sunaryo menderita kanker usus dan harus dioperasi.
Operasi dilakukan pada Jumat, 12 April 2019, dan sekitar pukul 11 malam keluar dari ruang operasi. Sunaryo dipindah ke Ruang ICU. Tidak seorang pun boleh masuk ruang ICU kecuali dokter dan tenaga medis yang bertugas.
Sujatwati mengaku enggak bisa tenang. Salatnya jadi tak khusyuk karena kepikiran terus ingin melihat suaminya tapi perawat melarang. Perawat bergeming walau Sujatwati berkali-kali memohon. Akhirnya, Sujatwati nekat nyelonong ke Ruang ICU. Perawat yang berjaga terpaksa membiarkannya sebentar.
Sujatwati dan Sunaryo bertemu sekitar 10 menit. Sunaryo sempat mengatakan merasa lebih bugar sehabis dioperasi. Sunaryo meyakinkan Sujatwati bahwa ia pasti akan sembuh. Sujatwati dan anak-anak diminta tenang dan sabar. Lalu, Sunaryo merasa haus dan meminta minum. Tapi dokter piket melarang Sujatwati memberikan minuman dengan alasan Sunaryo habis dioperasi dan pemberian minum bisa membuat pasien muntah.
Sujatwati pamit keluar dari Ruang ICU untuk melaksanakan salat. Sabtu pagi, 13 April 2019, pihak rumah sakit membolehkan keluarga Sunaryo memasuki Ruang ICU bergantian dan waktunya sebentar. Freddy, anak Sunaryo, ingat bapaknya berpesan supaya anak-anaknya tetap menjaga salat 5 waktu dan diusahakan selalu berjamaah. Mereka pun dipesani agar tetap rukun.
Menjelang siang keluarga Sunaryo dilarang menjenguk. Sujatwati yang sangat cemas mengajak anak-anaknya memperbanyak doa. Tapi Sujatwati tetap tak bisa tenang saat menunaikan salat Ashar di musala. Sehabis salat, Sujatwati berlari kecil menuju Ruang ICU dan mendapati kabar duka: Sunaryo telah menghembuskan napas terakhir pada pukul 4 sore.
Alhasil, Sunaryo batal mengenakan seragam baru warna biru saat bertugas bersama enam anggota Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) di hari pencoblosan surat suara pada 17 April. Sujatwati ingat, Sunaryo berkelakar merasa lebih gagah dan ganteng dalam balutan seragam biru.
Walau tidak menyelesaikan tugasnya hingga hari pemungutan suara, Sunaryo dianggap turut berjasa terhadap pesta demokrasi lima tahunan Indonesia.
Baca: Keluarga Kesal Petugas KPPS Meninggal Dikaitkan Hoaks Karena Racun
Atas jasanya sebagai Ketua KPPS, Sunaryo diberi sertifikat penghargaan dari Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa pada 25 April 2019. Selain sertifikat, Pemerintah Provinsi Jawa Timur juga menyerahkan santunan Rp 25 juta.