TEMPO.CO, Jakarta-Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni mengatakan bahwa proses penghitungan suara pemilihan presiden paling memenuhi aspek transparan dan akuntabel. "Karena proses penghitungannya segera setelah pemungutan suara selesai, atensi pemilih dan lembaga survei masih besar," kata Titi di Kantor Bawaslu, Jakarta, Rabu, 24 April 2019.
Titi menuturkan berdasarkan teknis atau manajemen pemungutan penghitungan suara, pilpres justru yang paling mendapatkan prioritas karena pertama kali dihitung usai pemungutan. Namun, karena pemilihan dilakukan serentak dengan empat pemilihan legislatif (DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota), derajat transparansi dan akuntabilitas berkurang drastis. "Notabene paling berdampak pemilu DPD dan DPRD yang tidak mendapatkan berkah dari desain transparan dan akuntabel di TPS kita," katanya.
Baca: Perludem: Pemenang Pilpres 2019 Berdasar Suara Terbanyak
Menurut Titi beban para penyelenggara pemilu di lapangan dalam mengerjakan lima surat suara membuat adanya defisit derajat transparansi dan akuntabilitas. Berdasarkan temuannya di lapangan, petugas KPPS bahkan baru menghitung suara DPRD di atas pukul 22.00. Selain itu, Titi menemukan tak sedikit petugas KPPS dan petugas pengawas TPS yang bekerja sendirian karena para saksi mayoritas tidur.
Problem paling mengemuka lainnya ialah distribusi logistik. Misalnya, surat suara baru diketahui tertukar ketika proses pemungutan suara di TPS berlangsung, sehingga suaranya dialihkan ke partai politik. "Otomatis kan peluang untuk mendapat suara langsung dari si caleg berkurang. Suara yang harus diberikan kepada caleg lalu terberikan pada partai," ujarnya.
Simak: Perludem: Pemilu 2019 Lebih Tidak Siap Ketimbang Pemilu 2014
Lebih jauh, Titi mengungkapkan bahwa kerentanan dan potensi kecurangan pelanggaran justru lebih tinggi di pileg, yaitu adanya praktek politik uang. Kecurangan terjadi ketika proses rekapitulasi suara. Modusnya pada 2014, kata Titi, pertukaran suara antara caleg dalam satu partai.
Hal itu terjadi karena saksi berorientasi menjaga suara sah partai, sehingga tidak memberi perhatian pada suara yang diperoleh caleg. "Kekhawatiran terbesar adalah memang ada upaya jangan-jangan kita sengaja membelokkan narasi kita untuk dominan di pilpres agar tidak memberi atensi pada praktek ini," kata Direktur Perludem tersebut.