TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) meningkatkan intensitas koordinasi dengan beberapa lembaga untuk penanganan informasi bohong atau hoaks menjelang pemilihan umum pada 17 April 2019. Lembaga itu di antaranya adalah Komisi Pemilihan Umum, Dewan Pers, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
“Tren hoaks naik, tapi kami belum tahu jumlahnya,” kata Koordinator Divisi Penyelesaian Sengketa Badan Pengawas Pemilu, Rahmat Bagja di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, Senin, 25 Maret 2019. Selama pemilu 2019 sampai Februari, Bawaslu menerima 1.500 laporan dari Kemenkominfo tentang hoaks.
Baca: Bawaslu Investigasi Mobil Dinas TNI Pengangkut Logistik Pemilu
Kementerian Komunikasi dan Informatika menelusuri dan mencatat hoaks yakni 53 hoaks pada Oktober 2018, 63 hoaks pada November, dan 75 pada Desember. Januari 2019 terdapat 175 hoaks serta 353 hoaks pada Februari 2019. “Jangan ‘buang’ (sebar) hoaks sembarangan. Periksa dulu benar atau tidaknya sebuah informasi yang didapat,” kata staf ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Teknologi Herry Abdul Aziz.
Ada beberapa larangan dalam berkampanye di media sosial. Yakni mempersoalkan Pancasila, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal yang dilarang lainnya adalah melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan NKRI, menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon dan/atau peserta pemilu yang lain, atau menghasut dan mengadu domba perseorangan atau pun masyarakat.
Baca: Panwaslu Luar Negeri Pantau Potensi Calo Suara di Malaysia
Menurut Bawaslu, pelanggar akan dikenai Pasal 521 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pelaksana, peserta pemilu, dan/atau tim kampanye yang dengan sengaja melanggar dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta.