TEMPO.CO, Kupang - Antropolog Budaya Pater Gregorius Neonbasu SVD, PhD menilai masyarakat dewasa ini tidak terlalu suka dengan kampanye calon anggota legislatif yang bernuansa bergemerlapan. "Belum tentu caleg yang kampanye besar-besaran akan dipilih," katanya kepada Antara di Kupang, Senin, 11/2.
Antropolog Budaya dari Universitas Widya Mandira (Unwira) Kupang ini mengemukakan hal tersebut berkaitan dengan kurang bergaungnya Pileg dan Pilpres di Nusa Tenggara Timur, padahal masa kampanye telah dibuka KPU. Menurut rohaniawan Katolik itu penampilan politik para calon legislator kini berbeda jauh jika dibandingkan dengan era 1990-an.
Pada saat itu, kata Gregor, legislator beramai-ramai menggelar kampanye dengan cara yang gemerlapan, konser band, dan membawa artis-artis dari ibu kota. Selain itu, juga banyak iklan dan baliho serta pemusatan massa pada lokasi tertentu.
Tetapi kali ini, kata dia, iklan dan baliho sepi mungkin juga karena musim hujan dan iklim yang tidak menentu. “Atau juga cara menghemat biaya untuk tidak mengumpulkan massa, melainkan berkampanye dari rumah ke rumah," ujar dia.
Selain itu juga media sosial seperti Facebook, WhatsAp, iklan di Koran, mempunyai peranan sangat penting bagi kampaye para calon legislator. "Kekuatan medsos hemat saya masih ada, namun jika tidak ditunjang dengan pendekatan hati dari rumah ke rumah, akan menuai kegagalan," kata dia.
Pater Gregor mengatakan kali ini ada gerakan para calon legislator yang berkunjung secara diam-diam ke tengah warga masyarakat. Mereka juga beramal dari rumah ke rumah. Tujuannya adalah agar para calon legislator mengetahui persis siapa yang bakal memilihnya.
ANTARA