TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof Dr Syafruddin Kalo SH berpendapat diperbolehkannya mantan narapidana (napi) korupsi menjadi anggota DPR dan DPRD Kabupaten/Kota atau calon legislatig (caleg) mengandung masalah etika dan moral.
"Memang tidak ada larangan terhadap mantan korupsi itu untuk mencalonkan diri dan dipilih menjadi anggota legislatif," kata Syafruddin, di Medan, Minggu, 13/1. Tetapi, kata dia, idealnya seorang anggota legislatif memiliki moral dan kepribadian yang baik di mata masyarakat. “Serta tidak tersangkut masalah hukum.”
Syafruddin menegaskan anggota legislatif merupakan orang terhormat atau "bapak rakyat" dan terpandang. Jadi, seorang mantan koruptor akan sulit diterima masyarakat. Menurut dia statusnya sebagai mantan napi koruptor itu akan menjadi kendala dalam menerima aspirasi saat melaksanakan tugas sebagai anggota legislatif.
Masyarakat saat ini sudah pintar dalam memilih anggota legislatif yang menjadi dambaan mereka. Dia yakin masyarakat akan memilih wakil yang dapat menerima aspirasi rakyat dengan baik.
Putusan Mahkamah Agung (MA) memang membolehkan mantan napi korupsi menjadi calon legislatif. MA mengabulkan gugatan uji materi Pasal 4 ayat (3), PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/kota terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu).
Pasal yang diujimaterikan itu mengatur soal larangan bagi mantan narapidana kasus korupsi, mantan bandar narkoba dan eks narapidana kasus kejahatan seksual pada anak. Majelis hakim menilai, PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/kota bertentangan dengan Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Dalam UU Pemilu, tidak ada poin mengatur larangan mantan napi korupsi menjadi caleg. Sementara PKPU sejatinya merupakan turunan dari Undang-Undang Pemilu.
ANTARA