TEMPO.CO, Jakarta - Lordes, 11 tahun, menyambut sodoran mikrofon itu dengan antusias. Fransisca Febriana Sidjada, psikolog anak yang mendampinginya di panggung itu, tersenyum. Petikan gitar mengalun dan Lordes pun mulai bernyanyi. Meski vokalnya tidak terlalu jelas, Lordes mampu menyesuaikan nada suaranya dengan musik pengiring. Penampilannya membius peserta seminar di Pupa Center, Srengseng Junction, Jakarta Barat, pada akhir pekan lalu.
“Lordes adalah anak berkebutuhan khusus yang siap terjun ke lingkungan umum dengan baik,” ujar Febriana. Siang itu, dia ingin menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus (ABK) wajib memperoleh hak-hak layaknya anak lain.
Sistem pendidikan paling mutakhir bagi anak dengan autisme adalah inklusi, yaitu layanan pendidikan yang menyertakan semua anak, termasuk ABK, dalam proses pembelajaran yang sama. Pendidikan inklusi berbeda dengan pendidikan khusus anak berkebutuhan, di mana ABK dipisahkan dari siswa umum.
Jia Song, praktisi pendidikan inklusi dari Nonsang Naedong Elementary School, Korea Selatan, mengatakan pendidikan inklusi adalah metode pendidikan bagi ABK yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (WHO). Di Korea, bibit pendidikan inklusi dimulai pada 1998.
“Awalnya, sebelum ada kurikulum, ABK diikutsertakan dalam kegiatan kesejahteraan pendidikan,” kata Jia di Pupa Center.
Metode itu berkembang dan menjadi sistem pendidikan yang wajib ada di sekolah umum. Di Korea, sistem itu dibagi menjadi tiga tahap. Pertama, kehadiran di kelas. Kedua, partisipasi siswa dalam kelas, termasuk kegiatan praktek. Ketiga, akan terlihat hasilnya, yaitu ABK siap terjun ke masyarakat umum. “Saat ABK belajar bersama, anak–anak akan bisa menerima kehadiran temannya yang berbeda,” ujar Jia.
Karena berada dalam satu atmosfer yang sama, guru umum--khususnya sekolah dasar di Korea--juga dibekali pengetahuan tentang ABK. Mereka didampingi asisten yang membantu penanganan siswa ABK bila siswa tersebut mengalami gangguan kesehatan yang sifatnya kambuhan, misalnya pingsan atau tantrum--menangis keras hingga berguling di tanah. Pendamping itu disebut in-service teacher. Ada juga guru yang rutin memeriksa kesehatan, nursing teacher. Guru ini juga bertugas mengawasi menu makan dan memastikan ABK mengkonsumsi obat-obatannya tepat waktu.
Demi menjamin pengawasan, setiap guru dibatasi mengajar dua sampai tiga ABK per kelas. Kurikulum diusahakan menyesuaikan kurikulum umum. Jia menyebut "diusahakan" karena saat ini masih ada kelas yang menggunakan metode setengah inklusi. Dalam metode setengah inklusif, ABK mengikuti dua macam kelas. Pada waktu tertentu mengikuti kelas khusus dan lain waktu mengikuti kelas umum. “Sedangkan untuk metode inklusif penuh, ABK harus mengikuti kelas umum secara penuh," kata dia.
CHETA NILAWATY