TEMPO.CO, Jakarta: Koalisi Gerakan Melawan Lupa meminta pertanggungjawaban Letnan Jenderal (Purn) Prabowo Subianto terkait dengan kasus penculikan aktivis. "Prabowo tidak bisa lepas tanggung jawab," ujar Direktur Program Imparsial, Al A'raf, ketika memberikan keterangan pers di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Senin, 5 Mei 2014.
Gerakan Melawan Lupa merupakan organ koalisi sejumlah organisasi masyarakat sipil yang sejak lama menuntut penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Beberapa di antaranya adalah Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Imparsial, Ikatan Keluarga Korban Orang Hilang Indonesia, dan Aliansi Jurnalis Independen.
Al A'raf menjelaskan, dugaan keterlibatan Prabowo diketahui berdasarkan penjelasan sejumlah korban penculikan. Sebagian di antara mereka, ketika itu mengaku pernah bertemu para aktivis yang status keberadaannya dinyatakan hilang. "Pertemuan itu terjadi di Poskotis, markas Komando Pasukan Khusus, Cijantung. Saat itu Prabowo bertugas sebagai Danjen Kopassus," ujarnya. (Baca: Pro Jokowi Desak SBY Usut Kasus Wiji Thukul)
Sebagai mantan Danjen Kopassus, kata Al A'raf, Prabowo tentu mengetahui persis operasi penculikan yang dilakukan oleh anggota Kopassus yang tergabung dalam Tim Mawar. "Dalam Undang-Undang Pengadilan HAM, komandan militer dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan yang dilakukan oleh pasukan yang berada kendalinya," ujarnya.
Penyelidikan yang dilakukan Komisi Nasional HAM juga menemukan fakta serupa. Namun temuan itu teronggok di meja Kejaksaan Agung lantaran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, enggan menindaklanjuti rekomendasi Dewan Perwakilan Rakyat di tahun 2009, untuk membentuk Pengadilan HAM. "Komitmen SBY patut dipertanyakan," ujarnya.
Kasus penculikan dialami puluhan aktivis prodemokrasi sekitar tahun 1997/1998. Sebanyak 9 orang di antaranya dilepas, setelah disiksa, sementara 13 orang di antaranya hingga kini tak diketahui keberadaannya. Dewan Kehormatan Perwira yang dibentuk Tentara Nasional Indonesia untuk menyelidiki kasus itu berakhir dengan pemecatan Prabowo Subianto. (Baca: Sebagai Aktivis HAM, Gus Solah Tak Dukung Prabowo)
Menurut Al A'raf, DKP bukanlah lembaga peradilan yang tepat untuk menangani kasus tersebut. Sebagai kasus yang bermuatan pelanggaran HAM berat, penyelesaian kasus ini mestinya dilakukan lewat Pengadilan HAM. "Prabowo tak pantas maju sebagai calon presiden jika masih tersandera oleh masalah moral dan hukum," ujarnya.
RIKY FERDIANTO
Berita Populer:
Briptu Eka Menikah, Netizen: #Aku Rapopo
Briptu Eka Menikahi Polisi Anti-Narkotik
Agnez Mo Tampil Seksi dengan Suami Mariah Carey
Rapat Hanura Akan Desak Hary Tanoe Mundur