TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum tata negara, Refly Harun, mengatakan sengketa Pemilihan Umum 2014 yang dilaporkan ke Mahkamah Konstitusi berbeda dengan pemilihan umum pada 2009. Perbedaannya, sistem penghitungan suara tahun ini mengabaikan sisa suara setelah dikurangi bilangan pembagi pemilih. "Jadi, sisa suara tak digunakan partai untuk berebut kursi," kata Refly ketika ditemui di rumah makan di Jalan Mahakam, Sabtu, 10 Mei 2014.
Sengketa pemilihan umum kali ini, kata Refly, lebih banyak antarcalon legislator di satu partai dibanding antarpartai. Berbeda dengan Pemilu 2009 yang tidak mengabaikan sisa suara dalam penentuan kursi, periode 2014 lebih dikarenakan manipulasi atau mencuri suara yang sering dilakukan rekan separtai.
Berdasarkan aturan, ujar Refly, calon legislator yang melapor ke MK harus mendapat izin dari ketua umum dan sekretaris jenderal partai. "Sebaiknya petinggi partai tak membatasi sesama kader bersengketa," ujarnya. Asalkan, kader itu memberi bukti bila perolehan suaranya dicuri rekan separtai.
Refly berharap MK memberi ruang selebar-lebarnya bagi kader yang bersengketa, tak hanya untuk partai peserta pemilu. Bila terbukti melakukan kecurangan, MK harus berani menganulir legislator yang berhasil duduk di Senayan.
Sesuai dengan jadwal, MK akan mulai menerima permohonan perkara perselisihan hasil pemilu (PHPU) selama 3 x 24 jam sejak KPU menetapkan hasil pemilu secara nasional. Para pemohon yang berhak mengajukan permohonan dalam perkara PHPU legislatif adalah perorangan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah serta partai politik peserta pemilu yang diwakili oleh ketua umum dan sekjen atau sebutan lain yang sejenis.
SUNDARI
Berita Terpopuler:
Boediono Sebut Yang Mulia, JK: Saya Cukup Pak Hakim
Kabar Olga Meninggal Beredar, Billy Tak di Sisinya
Kata Korut, Obama seperti 'Monyet Hitam'
Sidang Century, Boediono: Itu Suara Ibu Miranda
Wenger Desak UEFA Coret City dari Liga Champions